Minggu, 11 Mei 2014

Mari Ngejoss (Ngejomblo Sampai Sah)


Adakah diantara sahabat yang masih ngejomblo saat ini? Tahukah kalian asal muasal kata jomblo ? Jomblo merupakan kata kuno oleh mereka yang terbiasa berpacaran dan menganggap pacaran sebagai cara tepat untuk mencari pasangan ideal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jomblo itu berasal dari kata jomlo yang artinya ‘wanita tua’. Ada juga yang bilang jomblo berasal dari Bahasa Latin jomblous yang artinya ‘sendiri’. Seiring dengan perkembangan zaman, kata ini bermetamorfosis menjadi istilah yang nggak disukai oleh banyak orang, yaitu laki-laki dan perempuan yang belum punya pacar atau sudah ‘putus’ dengan pacarnya.
Belakangan ini, jomblo sudah dijadikan sebagai pilihan oleh anak-anak muda dalam menjalani hidup. Jomblo bahkan dijadikan ikhtiar untuk memantaskan diri bagi sang jodoh. Beda dengan pacaran, yang sering kali hanyalah jalan pintas untuk mencicipi maksiat bersama dengan lawan jenis. Anak muda yang menjalani masa depannya dengan menjomblo yakin meski mereka tidak pacaran mereka pasti akan dipertemukan Allah dengan jodohnya.

“Dan diantara bukti-bukti kekuasaan-Nya, diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram di sampingnya dengan diadakan-Nya rasa cinta dan kasih saying di antaramu. Sesungguhnya dalam hal ini terdapat bukti untuk kaum yang berpikir”. (TQS. Ar Rum: 21)

Jodoh sudah Allah ciptakan untuk masing-masing diri kita. Jadi, tidak perlu mencarinya dengan cara yang haram. Lagipula, tidak ada jaminan bahwa dengan pacaran akan cepat bertemu jodoh yang kita inginkan. Insya Allah dengan menjomblo dan memantaskan diri untuk sang jodoh kita akan segera bertemu dengan jodoh yang kita harapkan.

Wanita-wanita keji untuk laki-laki keji dan laki-laki keji untuk wanita-wanita yang keji; wanita-wanita baik untuk laki-laki baik dan laki-laki baik untuk wanita-wanita yang baik. Mereka yang dituduh bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka yang menuduh. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia”. (TQS. An Nur: 26)

Ada yang bilang kalau anak muda yang menjomblo itu karena dia tidak laku. Ini salah besar! Laku? Memang barang dagangan? Ingat, kita diciptakan berpasang-pasangan. Ada siang, ada malam. Ada timur, ada barat. Ada kamu, ada aku (hemm). Jodoh itu sudah ditulis di Lauhul Mahfuz, sebagaimana rezeki dan maut (baca pembahasan tentang rezeki  di sini). Artinya kita tidak perlu ‘ngobral diri’ biar laku. Sebab, masing-masing kita sudah ada pasangannya. Tapi, apa kita tidak perlu mencari jodoh? Ini juga tidak tepat.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka”. (TQS. Ar Rad: 11)

Allah tidak akan mengubah nasib kita kalau bukan kita sendiri yang mengubahnya. Jadi, Allah memberi kita hak untuk mengubah nasib kita. Nah, dalam hal jodoh juga sama. Kita juga harus ikhtiar atau berusaha sekuat tenaga untuk mendapat jodoh yang kita idamkan. Caranya dengan memantaskan diri, bukan berpangku tangan atau berpacaran.
Jomblo adalah prinsip. Sayangnya, hanya segelintir anak muda yang punya prinsip ini. Banyak dari mereka yang mengira punya pacar itu enak. Padahal, pacar belum tentu akan menjadi suami atau istri dimasa depan. Masa muda mestinya kita gunakan untuk melakukan ibadah dan kebaikan., bukan pacaran. Di umur kita yang masih muda, tidak ada yang bisa menafsirkan bagaimana masa depan kita nantinya. Apakah kita tetap masih hidup, atau sudah dipanggil oleh-Nya. Ingat, urusan maut hanya Allah yang tahu. Bisa saja kan, kita yang masih muda ini dipanggil lebih dulu oleh-Nya daripada mereka yang tua-tua.
Memang sih, ada aja orang yang melihat sebelah mata status jomblo. Abaikan saja! Bukankah sebenarnya kita tidak benar-benar sendiri? Ada Allah yang senantiasa bersama kita. Tapi, jangan pula iri sama mereka yang kemana-mana bersama pacarnya. Karena, sesungguhnya mereka ada di jalan yang salah. Tetaplah istiqamah di jalan Allah, jalan yang diridhai-Nya.
Jomblo bukan status yang perlu ditakuti. Takutlah kepada Allah. Tapi, takut kepada Allah bukan dengan menjauhi-Nya., tapi justru mendekati-Nya. Takut kepada Allah itu memang unik. Sebab, semakin kita takut kepada-Nya, semakin kita dekat dengan-Nya. Kok bisa? Ya bisa. Orang yang takut kepada Allah akan mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, memperbanyak ibadah dan semakin sering mengerjakan amal saleh.
Coba deh lihat anak yang jomblo dan yang pacaran. Anak yang jomblo, kalau memang menggunakan status jomblonya untuk kebaikan, akan bisa fokus dan istiqomah memperbaiki diri, karena dia yakin jodoh di tangan Allah. Tinggal bagaimana cara kita menjemput jodoh tersebut, apakah dengan cari memperbaiki diri atau memperburuk diri. Sementara itu, anak yang pacaran paling-paling fokusnya pada permainan hawa nafsu.
Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.  Karena itu gunakanlah dengan sebaik-baiknya. Kita di dunia ini tidak hidup selamanya. Ada masa ketika kita hancur dan kembali kepada-Nya. Pertanyaannya, apakah bekal kita sudah cukup? Kalau belum, mari kita banyak-banyak berbuat baik kepada sesama dan beribadah kepada-Nya. Waktu muda adalah waktu terindah dalam hidup kita, kita harus mengisinya dengan hal yang indah pula. Jangan sedetik pun terlewat tanpa perbuatan yang bermanfaat. Kalau kita dihina orang-orang yang tidak suka dengan kejombloan kita, hiraukan saja. Anggap mereka angin lalu yang cepat hilang dan tidak berbekas.
Sekali lagi, jomblo adalah prinsip yang harus kita pegang sebelum menikah. Bukan sekedar menjomblo, tapi juga memantaskan diri, fokus pada cita-cita, dan membahagiakan orang tua. Prinsip ini harus sebisa mungkin kita pertahankan agar hidup kita semakin tertata dan indah, baik sekarang maupun esok hari.
Tidak ada kata yang paling indah selain ungkapan syukur kepada Allah karena kita masih dianugerahi nikmat iman. Lihat sekeliling kita, ketika sebagian orang terlena dengan cintanya yang belum halal, kita hidup dalam ketenangan sambil menantikan jodoh yang halal.
Jodoh itu Allah yang memberi. Tugas kita hanya mempersiapkan dan memantaskan diri untuk menerimanya. Banyak diantara kita yang ingin masuk surga tapi jalannya salah. Banyak juga yang ingin jodoh saleh atau saleha tapi diri sendiri belum saleh atau saleha. Jodoh itu ibarat kancing dan lubang baju. Kancing tidak boleh terlalu besar untuk lubang, begitu juga sebaliknya. Orang yang berjodoh itu pasti serasi. Orang saleh akan berjodoh dengan orang yang salehah. Bermimpi mendapatkan jodoh yang saleh atau saleha tapi diri sendiri masih suka bermaksiat sama dengan mimpi di siang bolong.
Terus yang udah terlanjur pacaran gimana dong? Tanpa banyak pertimbangan saya sarankan, udah putusin aja.
Terus kalau udah putus pasti galau, gimana dong? Udah deh, tidak ada gunanya galau. Kalau memang kita galau karena sebab yang jelas, Islam sebagai agama yang sempurna sudah menyediakan obat anti galau yang insya Allah tokcer.

“Ingatlah hanya dengan mengingat allah hati akan tenang”. (TQS. A Rad: 28)

Seorang penulis yang sedang gencar menyebarkan virus JOSS, Akhi Rahman memberikan tips yang bisa dilakukan untuk mengobati galau :
  •   Ambil wudhu. Dengan berwudhu, perasaan akan fresh. Hati yang bergejolak akan tenang dan stabil kembali;
  •  Beristighfar. Rasulullah bersabda, “Barang siapa sennatiasa beristighfar maka Allah akan memberikan kegembiraan dari kesedihannya dan kelapangan bagi kesempitannya, serta memberikan rizki dari arah yang tiada disangka-sangka” (HR. Abu Daud)
  •  Shalat sunnah 2 rakaat. Niatkan sebagai shalat sunah mutlak.
  • Sempatkan untuk berzikir agar kegalauan benar-benar hilang dan berganti dengan ketenangan.
  • Bertobat dan memohon ampun kepada Allah dari segala perbuatan yang membuat galau. Benar-benarlah khusyuk berdo’a kepada-Nya. Sampaikan keluh kesah kepada-Nya. Karena sebaik-baik teman curhat adalah Allah dan sebaik-baik tempatnya adalah tempat shalat kita.

Nah yang perlu kita pahami lagi, sebenarnya jomblo itu diakui Negara dan pacaran tidak. Kenapa? Silahkan deh periksa KTP masing-masing, lalu lihat ‘status’. Di situ tertulis ‘belum nikah/lajang. Tidak ada kan tulisan’pacaran’. Negara saja tidak mengakui pacaran, apalagi agama. Jadi, bagi yang jomblo woles aja, aman. Bagi yang pacaran, hubungan kalian illegal. Ops.
Sebenarnya, jombloer sejati itu tidak benar-benar sendiri. Ada Allah yang senantiasa menemaninya. Dia selalu menjaga dan setia mendengar curhatannya. Mereka yang pacaran sebenarnya juga tidak benar-benar berdua, sebab setan ada di antara mereka. Jadi, pilih ditemani Allah apa setan?

Orang Tua dan Pendidikan Anak


Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Bulan ini, Mei, menjadi bulan istimewa bagi seseorang yang berprofesi guru seperti saya, Hari Pendidikan Nasional di bulan Mei. Berbagai kegiatan pun diadakan oleh pihak terkait untuk memeriahkan peringatan ini. Mulai dari diadakannya seminar pendidikan, lomba-lomba kreativitas anak dan guru, jalan santai dan kegiatan yang tidak pernah ketinggalan, yaitu upacara bendera.
Meriahnya peringatan ini sebenarnya tidak akan mampu menghapus luka pendidikan di negara kita. Berbagai permasalahan yang terkait dengan pendidikan tak pernah berhenti mendera masyarakat.  Media publik tak pernah sepi dari pemberitaan mengenai kacaunya pendidikan kita. Permasalahan yang dari tahun ke tahun tak pernah berkurang malah semakin bertambah. Permasalahan yang masih hangat ditelinga kita, yaitu kasus pelecehan seksual siswa Taman Kanak-kanan di sekolahan ternama Jacarta International School (JIS), menyusul kasus penyiksaan yang berujung pada menghilangnya nyawa siswa STPN yang dilakukan oleh seniornya. Kasus-kasus pendidikan ini seperti fenomena gunung es, tampak sedikit di permukaan yang padahal bongkahan masalahnya yang tidak terekspos lebih banyak lagi.
Apa yang salah dengan pendidikan di negeri kita? Evaluasi tak pernah henti dilakukan, sampai-sampai kurikulum pendidikan di negeri ini pun selalu berganti-ganti, CBSA; KBK; KTSP; dan sekarang Kurikulum 2013 yang baru saja pada tahap awal pelaksanaan. Pembaharuan kurikulum ini dianggap solusi oleh pakar pendidikan terhadap berbagai fenomena masalah pendidikan yang datang silih berganti. Tapi kenyataannya solusi itu tidak pernah menyentuh pada penyelesaian permasalahan yang mendasar.
Hakikatnya, pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah dan Negara/Pemerintah. Ketiga pihak ini memiliki porsi tanggung jawab yang sama besar. Hilangnya salah peran dari salah satu pihak tersebut akan menjadikan goyahnya pendidikan, bahkan pupusnya tujuannya pendidikan.
Islam sebagai rahmatan lil ’alamiin juga memberikan pengaturan terhadap pendidikan. Dalam sistem pendidikan Islam, tujuan dari penyelenggaraan pendidikan adalah agar tercapainya individu yang berkepribadian Islam; yakni pola sikap dan pola pikir yang islami. Sehingga dengan tujuan pendidikan seperti ini akan membentuk anak-anak menjadi generasi yang sholeh. Belajar agama tidak hanya sekedar memenuhi angka-angka rapor tapi benar-benar berujung pada perubahan perilaku yang islami. Pemberian ilmu pengetahuan, sain dan tekhnologi betujuan terhadap penguasaan keahlian dan kreativitas tidak hanya sekedar untuk memperoleh sensasional atau menarik perhatian orang lain tetapi berkiprah untuk merajut problem solving untuk berbagai permasalahan yang ada di masyarakat.
Objek dari upaya pendidikan adalah anak. Lingkungan pertama pembentukan kepribadian anak adalah dari lingkungan keluarganya. Dalam lingkungan keluarga ini orang tua lah yang berperan besar memberikan pendidikan terhadap anak. Harapan orang tua terhadap anak tercantum dalam do’a sebagaimana dalam Al Qur’an :

”Dan orang-orang yang berkata : Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk pandangan mata dan jadikanlah kami (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa” (TQS. Al Furqon : 74)

Masih adakah penyejuk mata? Sementara anak-anak dan remaja hidup dengan mengedepankan tuntutan egois demi memuaskan keinginan-keinginannya saja. Hal ini merupakan konsekuensi dari tatanan hidup yang tidak islami.
Islam memandang bahwa masa kanak-kanak adalah masa paling tepat untuk memberi warna kepada anak-anak untuk bersiap menghadapi masa pembebanan hukum syara’ (mulai baligh). Masa efektif justru sejak awal proses persemaian janin dalam perut sang ibu. Seorang psikolog, Elizabeth B. Hurlock mencatat bahwa kondisi emosional ibu hamil dapat mempengaruhi perkembangan anak yang belum dilahirkannya. Awal kelahiran bayi masih murni dalam keadaan fitrah sebagaimana sabda Rasulullah Saw :

”Tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali menepati fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi” (HR. Bukhari)

Betapa besar peran orang tua memberi warna kepada anak-anaknya dan apabila terlambat memperhatikan pembinaannya maka penyesalan akan dituai dunia akhirat. Ibnu Qoyim mengutip perkataan para ulama mengingatkan para orang tua :

”Sesungguhnya Allah akan bertanya tentang anak kepada orang tuanya. Barang siapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Dan kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh para orang tua yang mengabaikan mereka dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan sunnah”.


Memperhatikan pendidikan anak bukanlah memilihkan sekolah yang termahal biayanya, atau sekedar membelikan buku-bukunya, karena saat ini tidak satu sekolah pun menjamin pembentukan kepribadian anak didik. Mutu sekolah dinilai dari ’keberhasilannya’ meluluskan alumni yang dapat diterima di sekolah atau perguruan tinggi favorit. Kesuksesan pendidikan diukur dengan angka rapor, bukan kesholihan anak. Pembinaan anak dalam islam mengarahkan tanggung jawab orang tua untuk memenuhi seruan Allah :

”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Padanya ada malaikat yang kasar dan bengis yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (TQS. At Tahrim: 6)

Perkembangan pendidikan anak melalui beberapa tahap. Menurut Fatima Hereen, tahap awal pendidikan anak merupakan tahap Islamic Milieu, sejak anak berusia 0 tahun hingga 20 tahun. Tahap ini memerlukan upaya mengkondisikan lingkungan islami. Kerja keras orang tua, terutama ibu sebagai pengemban peran utama ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) diperlukan demi memenuhi harapan meraih target pendidikan anak. Dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan ini seorang ibu tidak boleh menjadikan anak sebagai kambing hitam pelalaiannya terhadap kewajiban. Banyak contoh terjadi di masyarakat, ibu-ibu yang melalaikan sholat 5 waktu lantaran masih punya anak kecil, susah nanti kalau lagi sholat anak ngompol. Alasan ’kilse’, ’demi anak’ membuat ibu rela menjerumuskan diri ke dalam dosa. Juga banyak ibu yang meninggalkan pengajian, pembinaan islam  dengan alasan yang sama. Padahal pengabaian kewajiban ini membuat anak kehilangan kesempatan untuk memperoleh suasana islami. Padahal keterlibatan anak-anak dalam amal ibadah merupakan saat tepat memberikan teladan , bukan hanya dengan kisah-kisah.  Semua dikemas ibu dalam bentuk teladan bukan teori. Alangkah kosongnya kisah-kisah teladan apabila tidak diikuti dengan teladan sang ibu.
Keteladanan berfungsi penting dalam pendidikan anak. Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : ”Barang siapa mengatakan kepada anaknya: Kemarilah aku beri sesuatu, tetapi tidak memberinya itu merupakan kebohongan”.
Tuntutan yang indah tentang keteladanan yang begitu penting. Anak-anak meniru perilaku orang dewasa yang mereka amati. Seorang ibu tidak boleh under estimate terhadap anak, dengan menganggap anak kecil tidak tahu apa-apa. Mesti disadari bahwa indera mereka dapat mengihsas apa saja yang ada di sekitarnya. Tidak heran apabila dalam sekejap mereka dapat berjingkrak-jingkrak gaya artis penyanyi yang ditontonnya di layar televisi sekalipun ibu tidak mengajarinya, atau anak-anak lihai mengolok-olok ibu  dan ayahnya hasil dari tayangan sinchan. Sungguh ibu, mendidik anak bukan pekerjaan sambilan yang dapat dilakukan sambil bersantai. Upaya keras mesti dikerahkan tanpa mengabaikan peran publik ibu dalam membina masyarakat. Bahkan terpatri dalam benak anak-anak tentang segala ucapan dan perbuatan ibu termasuk emosi yang terkadang keluar di bawah sadar. Oleh karena itu, seorang ibu wajib menata lisan dan amal agar sejalan dengan aqidah Islam dan syari’atnya agar tertanam kuat pada anak-anak.
Rumah tangga dibangun sebagai kehidupan persahabatan saling menasehati dalam mentaati Allah.  Orang tua bukanlah sosok tanpa dosa yang layak mengingkari nasehat dari anak-anaknya. Hal ini penting diperhatikan karena tumbuhnya rasa percaya diri pada anak-anak mengemban keyakinannya dapat ditumbuhkan dengan mengkondisikan mereka berbuat  sebagaimana keyakinan yang telah ditanamkan orang tua. Sekalipun kadang-kadang  sikap kanak-kanaknya membuat keterusterangan yang membuat orang dewasa tersinggung. Contoh anak yang telah ditanamkan kewajiban tutup aurat, ketika melihat perempuan tanpa kerudung dan jilbab, spontan berkata: ”Kok gak pakai kerudung, auratnya kelihatan”. Menemui kondisi seperti itu ibu tidak perlu menegur atau memarahinya.
Penanaman pemahaman pada anak-anak juga mesti mencermati teknik komunikasi yang sesuai dan reflective listening, yakni berempati terhadap ungkapan anak.  Kemampuan empati ibu dapat memudahkan penanaman mafahim (pemahaman) Islam pada anak-anak. sehingga ia dapat memilih dan teknik yang tepat bagi masing-masing anaknya. Hal ini makin terlatih ketika ketika ibu aktif menjalankan peran publiknya untuk membina masyarakat, menghadapi banyak orang yang berbeda-beda karakternya. Jam terbang akan mematangkan kemampuannya tentang bagaimana menghadapi emosi anak, ungkapan anak, ikut merasakan berbagai keluhannya sebagaimana ia berusaha menyelesaikan permasalahan dalam membina masyarakat.
Peran ibu yang demikian besar dalam pendidikan anak tidak berarti meniadakan peran ayah. Sebaliknya ayah mesti turut berperan sehingga tidak terjadi dualisme teladan. Hasil pendidikan sang ibu tentang manajemen waktu bisa sirna oleh teladan ayah yang sering bersantai. Demikian pula kegembiraan memikul ketaatan kepada Allah juga mesti disaksikan anak-anak dari sosok ayahnya. Artinya orang tua mesti mendiskusikan intens tentang perkembangan pendidikan anak-anak agar keduanya mengambil peran yang tepat untuk mencapai hasil sesuai harapan rumah tangga.
Anak merupakan generasi penerus bangsa. Mendidiknya bukanlah trial and error, karena setiap upaya pembinaan terhadap anak akan berdampak langsung terhadap pembentukan pola sikap dan pola pikirnya, sehingga perlu perhatian yang cukup besar.