Senin, 28 April 2014

Revisi atas Kesalahan Pemahaman Rizki



Pemikiran “rizki di tangan Allah” juga telah mengalami pergeseran sehingga kehilangan maknanya. Pemikiran tersebut menjadi kosong, dan tidak  membentuk pemahaman apa-apa, terutama ketika makna pemikiran yang diyakini tadi bisa mendorong seorang muslim agar melakukan aktivitas sesuai dengan pemahamannya. Dengan hilangnya makna pemikiran tersebut, kemudian berkembang khurafat dan tahayyul dalam diri mereka. Pemikiran khurafat dan tahayyul itu, antara lain adalah, “rizki tergantung pada usaha manusia, sehingga usaha manusialah yang menentukan rizki”,  “rizki itu tergantung pada akal dan kedudukan, sehingga siapa yang lebih pandai, rizkinya lebih banyak, demikian juga seorang atasan lebih banyak rizkinya dibanding bawahan”, “rizki adalah materi yang dapat dihitung secara matematika, sehingga ketika jumlahnya berkurang, naka rizkinya tentu berkurang”. Inilah pemikiran khurafat dan tahayyul yang berkembang dan mencengjeram kaum muslimin saat ini.
Akibatnya ummat Islam menjadi ummat yang materialistic. Tidak bisa berkorban untuk kepentingan Islam dan menjadi orang yang bakhil, takut menentang kezaliman karena khawatir akan kehilangan kedudukan dan hartanya. Jika mencari ilmu, belajar atau lainnya, juga tidak bertujuan untuk meningkatkan kualitas berpikir, namun hanya semata-mata untuk meraih kenikmatan materi.  Karena itu, ketika tujuannya telah  tercapai, proses belajarnya akan berhenti. Sebab semuanya telah tercapai. Padahal pemikiran seperti itu adalah debu-debu kotor yang harus dibersihkan dari benak mereka, sehingga makna pemikiran “rizki di tangan Allah SWT” tersebut benar-benar jernih dan cemerlang.
Secara Etimologis Rizki yang berasal dari bahasa arab, Razaqa-Yarzuqu-Rizq yang berarti pemberian. Adapun menurut istilah rizki adalah apa saja yang dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa dimanfaatkan atau tidak.
Definisi “apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh)” meliputi semua bentuk rizki; halal, haram, positif, negative, sakit, kecerdasan, ketidakcerdasan, cantik, jelek dan sebagainya.  Semuanya merupakan rizki. Definisi ini menjelaskan, bahwa rizki berbeda dengan hak milik. Sebab, hak milik sellau memperhatikan cara, yaitu syar’I atau tidak syar’I ; jika caranya syar’I, maka hak miliknya halal, dan jika tidak syar’I, maka hak miliknya tidak halal. Tetapi, dua-duanya tetap disebut rizki. Definisi ini juga meliputi rizki yang diperoleh secara mutlak tanpa usaha, seperti pemberian, waris, diyat, ataupun karena usaha, seperti bekerja, menjadi broker, atau yang lain, termasuk kerja yang diharamkan, seperti  mencuri, merampok, dan sebagainya. Semuanya ini bisa mendatangkan rizki meskipun kemudian ada yang halal dan haram.  Mengenai definisi “baik yang bisa dimanfaatkan maupun tidak” meliputi semua bentuk rizki, baik yang positif maupun yang negative, sekaligus menafikan rizki yang dianggap hanya sesuatu yang bisa dimanfaatkan saja.
Inilah makna pemikiran mengenai rizki, yaitu apa saja yang diberikan Allah SWT. Yang diperoleh manusia. Allah SWT. Juga dinyatakan sebagai sebab bagi rizki manusia. Allah SWT. berfirman :

“Dan di langit ada (sebab-sebab) rizki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.“ (TQS. Adh Dhariyat: 22-23)


Pemaknaan dari ayat diatas adalah “Kalian tidak bisa  berbicara dengan menggunakan mulut orang lain, maka kalian juga tidak bisa memakan rizki orang lain, selain rizki kalian sendiri”.
Karena itu, setiap makhluk yang diberikan kehidupan oleh Allah pasti telah Dia tetapkan rizkinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT. :

“Dan tidak ada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rizkinya telah ditetapkan oleh Allah.” (TQS. Hud:6)

Ayat ini secara tegas telah memaparkan, bahwa tidak satu pun makhluk yang diberi kehidupan oleh Allah, kemudian dibiarkan hidup tanpa jaminan rizki dari-Nya. Sebab, siapakah yang menjamin rizki manusia? Tentu bukan manusia, sebaliknya Allah. Maka, ketika ada orang tua yang takut keturunannya lahir tanpa jaminan rizki, kemudian mereka membunuh keturunannya karena takut akan kelaparan, dengan tegas ketakutan tersebut dibantah Allah :

“Kalian jangan membunuh anak-anak kalian karena takut akan kelaparan, padahal Kamilah Yang (menjamin) memberikan rizki mereka, juga rizki kalian.” (TQS. Al Isra: 31)

Melalui ayat ini, Allah SWT ingin menjelaskan, bahwa rizki itu tidak bisa dihitung dengan angka matematika. Maka, ketika seseorang mempunyai gaji Rp. 2.000.000 dimakan seorang, akan berubah komposisinya ketika masih single, dengann ketika telah menikah, dimana angka di atas sebelumnya dibagi satu, menjadi dua, suami-isteri, dan jika mempuyai satu anak, akan berkurang lagi menjadi Rp. 666.000 per orang. Akhirnya muncul ketakutan dan rasa takut itu karena jumlahnya berkurang. Akibatnya muncul rasa takut menikah, mempunyai anak dan ketakutan-ketakutan yang lain. Inilah yang dibantah Allah SWT seakan ingin menyatakan : “Bukan kamu yang menjamin rizki mereka, melainkan Akulah yang menjamin rizki mereka, juga rizki kamu”. Inilah yang dijanjikan Allah SWT. melalui orang tuanya  atau melalui orang lain.
Ayat-ayat dan makna pemikiran rizki di atas memberikan gambaran, bahwa “rizki di tangan Allah” adalah pemikiran yang menjadi keyakinan dan wajib dimiliki oleh setiap orang Islam. Karena pemikiran tersebut memang riil dan tidak kontradiksi dengan realitasnya. Orang yang mengingkarinya tentu saja menjadi kafir. Keyakinan mengenai “rizki di tangan Allah” tersebut meliputi keyakinan mengenai segala sesuatu yang diberikan oleh Allah SWT baik pemberian dalam bentuk materi, maupun non-materi. Karena itu, bisa saja gaji seseorang kecil, tetapi rezekinya besar. Dengan demikian, rizki tidak tergantung pada jabatan dan kedudukan, dan tidak tergantung pada akal, ilmu atau pun yang lain. Karena Allah telah memberikan rizki tersebut secara mutlak kepada siapapun. Tepat sekali ungkapan penyair yang menyatakan:

Kalaulah rizki tergantung pada akal,
Tentu binatan-binatang telah binasa karena kebodohannya.

Rizki merupakan kehendak Allah, tetapi bukan menafikan usaha manusia. Pemikiran “rizki di tangan Allah” adalah masalah keyakinan yang wajib dimiliki oleh setiap kaum muslim. Sedangkan masalah usaha agar “rizki di tangan Allah” tersebut sampai kepada manusia adalah masalah hukum syara’ yang menentukan rizki itu halal atau tidak. Usaha merupakan faktor kondisional yang harus dilakukan untuk mendatangkan rizki itu, namun usaha tidak menentukan banyak dan sedikitnya rizki. Jika demikian, siapa yang menjadi sebab rizki? Tentu hanya Allah SWT.
Allah yang menjadi sebab rizki, Allah yang menentukan banyak dan sedikitnya rizki. Ini adalah bentuk keyakinan kepada Allah sebagai ar Razzaq (Maha Pemberi Rizki). Karena itu sebagian Ulama mengaitkan sebab rizki tetrsebut dengan tawakkal kepada Allah SWT, sebagaimana hyang dinyatakan Hadits Nabi Saw :

“Jika kalian bertawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia telah member rizki kepada burung yang berangkat (pagi) dengan perut kosong, dan pulang dengan (perut) kenyang.” (HR. At Tirmidzi dan Ahmad)

Jadi meskipun rizki tersebut ditentukan oleh Allah, dan usaha manusia tidak mempengaruhi besar dan kecilnya rizki, tetapi usaha merupakan factor yang menentukan halal dan haramnya rizki yang diberikan Allah SWT. Karena itu, mengapa ada perbedaan antara rizki dengan pemilikan rizki. Setiap muslim wajib berusaha mencari “rizki di tangan Allah” dengan usaha yang mengantarkannya pada hasil yang halal. Meskipun hakikat rizki yang halal dan haram tersebut sama-sama dari Allah SWT, tetapi status halal dan haram tersebut adalah manusialah yang menentukannya.
Karena itu manusia akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah karena cara memperoleh rizkinya; apakah bertentangan dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atau tidak? Demikian halnya pertanggungjawaban atas pemanfaatan rizki yang diberikan kepada manusia; apakah untuk sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah atau tidak? Sebab, semuanya itu wilayah aktivitas manusia yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban karena sedikit atau banyaknya, atau karena baik dan buruknya rizki yang diberikan kepadanya.
Wallahu’alan bissawab.

Sumber :
Hafidz Abdurrahma,  Diskursus Islam Politik dan spiritual, hal 169.
An Nabhani, as-Syaksiyah, juz I, hal. 110.
Al Ghazali, at Tawhid wa at Tawakkul, hal. 107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar