Jumat, 25 April 2014

Perjalanan Malam dengan Sepeda Damai

ni adalah cerita tentang aku dengan sepeda tua milik teman kostku, Damai. Damai adalah salah seorang mahasiswa prodi Pendidikan Fisika di kampusku dan berada beberapa tingkat semester di bawahku. Kostku merupakan kos yang istimewa, karena disini kami penghuni kost tidak hanya dipertautkan dalam naungan atap yang sama tapi ikatan lahir dan batin kami cukup kuat, kami sudah seperti keluarga. Sepeda damai menjadi salah satu alat transportasi yang sering bergantian kami gunakan. Sepeda tua berrwarna hitam yang remnya sudah blong. Kami tidak berani menggunakannya untuk keperluan yang jauh, hanya berkisar kampus dan wilayah sekitar kost. Tapi ketika ada suatu kejadian yang menimpaku, bersama sepeda Damai ini aku melakukan perjalanan yang cukup jauh ke luar kota.
Saat itu aku adalah mahasiswa semester 6 yang sedang aktif diberbagai kegiatan di kampus. Kebetulan pada saat itu dicalonkan teman-temanku tuk menjadi calon ketua Himpunan Mahasiswa (HIMA) di program studiku. Disisi lain, di desa tempat tinggalku, ayahku yang merupakan aparatur desa juga sedang sibuk mempersiapkan pemilihan kepala desa (pambakal) yang baru. Ayahku juga berperan sebagai ketua panitia pemungutan suara (PPS) dan Tim sukses salah satu calon kepala desa waktu itu. Hari pemungutan suara kepala desa itu pun berbarengan dengan hari pemungutan suara pemilihan ketua HIMA.
H-1.
Sore itu aku sedang asyik ngobrol dengan teman sekostku tentang kondisi pergerakan di kampus, dan tiba-tiba saja Handphone ku berdering. Ada panggilan dari ayahku.
“Er, esok pemilihan pambakal, kamu pulang ikut memilih”
“Saya gak bisa Bah, saya juga pemungutan suara esok di kampus dan saya jadi kandidatnya”, sahutku.
Ayahku langsung mematikan handphonenya. jantungku langsung berdetak kencang, aku tau pasti beliau marah.
Tiba-tiba handphone berdering lagi, ayahku memanggil lagi.
“Ingat Er, kamu tidak  besar sendirian. Kalau esok tidak pulang, jangan pernah pulang sekalian”, bentak beliau.
Aku yang tersentak hanya bisa menjawab “iya… “. Handphone langsung dimatikan ayahku dari seberang.
Teman-teman di sekelilingku tidak ada yang tau kalau saat itu aku menerima telpon dari ayahku yang sedang marah. Sampai akhirnya kami pun bubar dan aku masuk ke kamarku.
Di kamar aku langsung menangis. Meski pun aku merasa di posisi yang benar, aku merasa tidak nyaman mendengar kekecewaan ayahku. Aku mengerti, posisi beliau sebagai aparatur desa yang pasti tidak nyaman dengan warga desa kalau anaknya yang sulung tidak berpartisipasi dalam pemilu kades. Disisi lain kehadiranku di kampus esok jauh lebih penting, karena kandidat wajib berhadir dalam pemilu HIMA.
Aku pun memutuskan pulang malam itu. Usai sholat magrib aku bersiap diri untuk pulang dengan mata yang masih sembab. Kulihat di luar kost ada sepeda Damai sedangkan Damai tidak ada di kost malam itu. Dengan sepeda Damai aku mengayuh pulang ke rumah tanpa seorang penghuni kost pun yang tau. Perjalanan sejauh kurang lebih 30 km ku tempuh tanpa rem dengan sepeda itu. Sepanjang jalan aku masih menangis. Pantatku pun mulai penat, karena sebelumnya aku tidak pernah mengayuh sepeda sejauh ini apalagi kondisi jalan yang kadang tidak ada penerangan membuatku merasa takut kalau tertabrak sesuatu. Sepeda itu terus kukayuh tanpa istirahat sampai ke rumah.
Sesampai di rumah orang tuaku kaget melihat kedatanganku.
“kenapa gak bilang kalau mau pulang, Abah kan bisa menjemput”, kata ayahku.
Aku diam tidak menyahut. Aku pun lngsung berganti pakaian dan menuju ke belakang tuk mencuci mukaku. Mataku pun terasa bengkak karena menangis terus menerus. Kemudian aku langsung menuju ke kamarku dan tidur tanpa sedikitpun berbicara dengan orang tuaku. Samar-samar ku dengar pembicaraan orang tuaku.
“Erni dimarahi kah jadi dia sampai kayagitu”, ibuku yang pertama kali bersuara.
Ayahku diam tidak menyahut.
“Erni itu gak bisa dikerasi, dia berani nekat”, tambah ibuku.
Pagi pun tiba, aku bangun dengan kondisi yang sudah segar. Pagi-pagi aku sudah mempersiapkan diri tuk ke TPS dengan maksud setelah memilih aku langsung balik ke kampus dengan bersepeda.
Ayahku pun berkata, “Nanti biar abah saja yang mengantar ke kampus, kamu jadi kandidat ketua HIMA kan? Sepeda itu biar nanti malam abah yang antar ke kost”.
“iya.. “, jawabku. Aku pun senang sekali, ayahku tidak marah lagi dan memberikan dukungan padaku untuk jadi ketua HIMA.
Usai ikut pemungutan suara di desa, aku pun diantar ayahku kampus. Ayahku meminta izin pada panitia yang lain untuk meninggalkan tugasnya.
Di kampus, aku pun hari itu akhirnya terpilih menjadi ketua HIMA dan sejak saat itu kedua orang tuaku pun lebih perhatian padaku. Hampir 2 hari sekali aku diantari makanan ke kos, kadang di jenguki ke kampus dan 2 kali seminggu di jemput untuk pulang bahkan berselang tidak lama dari kejadian itu aku diberi izin untuk menggunakan motor.
Sepeda Damai itu tidak mampu kulupakan kenangannya sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar