Minggu, 11 Mei 2014

Orang Tua dan Pendidikan Anak


Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Bulan ini, Mei, menjadi bulan istimewa bagi seseorang yang berprofesi guru seperti saya, Hari Pendidikan Nasional di bulan Mei. Berbagai kegiatan pun diadakan oleh pihak terkait untuk memeriahkan peringatan ini. Mulai dari diadakannya seminar pendidikan, lomba-lomba kreativitas anak dan guru, jalan santai dan kegiatan yang tidak pernah ketinggalan, yaitu upacara bendera.
Meriahnya peringatan ini sebenarnya tidak akan mampu menghapus luka pendidikan di negara kita. Berbagai permasalahan yang terkait dengan pendidikan tak pernah berhenti mendera masyarakat.  Media publik tak pernah sepi dari pemberitaan mengenai kacaunya pendidikan kita. Permasalahan yang dari tahun ke tahun tak pernah berkurang malah semakin bertambah. Permasalahan yang masih hangat ditelinga kita, yaitu kasus pelecehan seksual siswa Taman Kanak-kanan di sekolahan ternama Jacarta International School (JIS), menyusul kasus penyiksaan yang berujung pada menghilangnya nyawa siswa STPN yang dilakukan oleh seniornya. Kasus-kasus pendidikan ini seperti fenomena gunung es, tampak sedikit di permukaan yang padahal bongkahan masalahnya yang tidak terekspos lebih banyak lagi.
Apa yang salah dengan pendidikan di negeri kita? Evaluasi tak pernah henti dilakukan, sampai-sampai kurikulum pendidikan di negeri ini pun selalu berganti-ganti, CBSA; KBK; KTSP; dan sekarang Kurikulum 2013 yang baru saja pada tahap awal pelaksanaan. Pembaharuan kurikulum ini dianggap solusi oleh pakar pendidikan terhadap berbagai fenomena masalah pendidikan yang datang silih berganti. Tapi kenyataannya solusi itu tidak pernah menyentuh pada penyelesaian permasalahan yang mendasar.
Hakikatnya, pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah dan Negara/Pemerintah. Ketiga pihak ini memiliki porsi tanggung jawab yang sama besar. Hilangnya salah peran dari salah satu pihak tersebut akan menjadikan goyahnya pendidikan, bahkan pupusnya tujuannya pendidikan.
Islam sebagai rahmatan lil ’alamiin juga memberikan pengaturan terhadap pendidikan. Dalam sistem pendidikan Islam, tujuan dari penyelenggaraan pendidikan adalah agar tercapainya individu yang berkepribadian Islam; yakni pola sikap dan pola pikir yang islami. Sehingga dengan tujuan pendidikan seperti ini akan membentuk anak-anak menjadi generasi yang sholeh. Belajar agama tidak hanya sekedar memenuhi angka-angka rapor tapi benar-benar berujung pada perubahan perilaku yang islami. Pemberian ilmu pengetahuan, sain dan tekhnologi betujuan terhadap penguasaan keahlian dan kreativitas tidak hanya sekedar untuk memperoleh sensasional atau menarik perhatian orang lain tetapi berkiprah untuk merajut problem solving untuk berbagai permasalahan yang ada di masyarakat.
Objek dari upaya pendidikan adalah anak. Lingkungan pertama pembentukan kepribadian anak adalah dari lingkungan keluarganya. Dalam lingkungan keluarga ini orang tua lah yang berperan besar memberikan pendidikan terhadap anak. Harapan orang tua terhadap anak tercantum dalam do’a sebagaimana dalam Al Qur’an :

”Dan orang-orang yang berkata : Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk pandangan mata dan jadikanlah kami (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa” (TQS. Al Furqon : 74)

Masih adakah penyejuk mata? Sementara anak-anak dan remaja hidup dengan mengedepankan tuntutan egois demi memuaskan keinginan-keinginannya saja. Hal ini merupakan konsekuensi dari tatanan hidup yang tidak islami.
Islam memandang bahwa masa kanak-kanak adalah masa paling tepat untuk memberi warna kepada anak-anak untuk bersiap menghadapi masa pembebanan hukum syara’ (mulai baligh). Masa efektif justru sejak awal proses persemaian janin dalam perut sang ibu. Seorang psikolog, Elizabeth B. Hurlock mencatat bahwa kondisi emosional ibu hamil dapat mempengaruhi perkembangan anak yang belum dilahirkannya. Awal kelahiran bayi masih murni dalam keadaan fitrah sebagaimana sabda Rasulullah Saw :

”Tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali menepati fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi” (HR. Bukhari)

Betapa besar peran orang tua memberi warna kepada anak-anaknya dan apabila terlambat memperhatikan pembinaannya maka penyesalan akan dituai dunia akhirat. Ibnu Qoyim mengutip perkataan para ulama mengingatkan para orang tua :

”Sesungguhnya Allah akan bertanya tentang anak kepada orang tuanya. Barang siapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Dan kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh para orang tua yang mengabaikan mereka dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan sunnah”.


Memperhatikan pendidikan anak bukanlah memilihkan sekolah yang termahal biayanya, atau sekedar membelikan buku-bukunya, karena saat ini tidak satu sekolah pun menjamin pembentukan kepribadian anak didik. Mutu sekolah dinilai dari ’keberhasilannya’ meluluskan alumni yang dapat diterima di sekolah atau perguruan tinggi favorit. Kesuksesan pendidikan diukur dengan angka rapor, bukan kesholihan anak. Pembinaan anak dalam islam mengarahkan tanggung jawab orang tua untuk memenuhi seruan Allah :

”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Padanya ada malaikat yang kasar dan bengis yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (TQS. At Tahrim: 6)

Perkembangan pendidikan anak melalui beberapa tahap. Menurut Fatima Hereen, tahap awal pendidikan anak merupakan tahap Islamic Milieu, sejak anak berusia 0 tahun hingga 20 tahun. Tahap ini memerlukan upaya mengkondisikan lingkungan islami. Kerja keras orang tua, terutama ibu sebagai pengemban peran utama ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) diperlukan demi memenuhi harapan meraih target pendidikan anak. Dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan ini seorang ibu tidak boleh menjadikan anak sebagai kambing hitam pelalaiannya terhadap kewajiban. Banyak contoh terjadi di masyarakat, ibu-ibu yang melalaikan sholat 5 waktu lantaran masih punya anak kecil, susah nanti kalau lagi sholat anak ngompol. Alasan ’kilse’, ’demi anak’ membuat ibu rela menjerumuskan diri ke dalam dosa. Juga banyak ibu yang meninggalkan pengajian, pembinaan islam  dengan alasan yang sama. Padahal pengabaian kewajiban ini membuat anak kehilangan kesempatan untuk memperoleh suasana islami. Padahal keterlibatan anak-anak dalam amal ibadah merupakan saat tepat memberikan teladan , bukan hanya dengan kisah-kisah.  Semua dikemas ibu dalam bentuk teladan bukan teori. Alangkah kosongnya kisah-kisah teladan apabila tidak diikuti dengan teladan sang ibu.
Keteladanan berfungsi penting dalam pendidikan anak. Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : ”Barang siapa mengatakan kepada anaknya: Kemarilah aku beri sesuatu, tetapi tidak memberinya itu merupakan kebohongan”.
Tuntutan yang indah tentang keteladanan yang begitu penting. Anak-anak meniru perilaku orang dewasa yang mereka amati. Seorang ibu tidak boleh under estimate terhadap anak, dengan menganggap anak kecil tidak tahu apa-apa. Mesti disadari bahwa indera mereka dapat mengihsas apa saja yang ada di sekitarnya. Tidak heran apabila dalam sekejap mereka dapat berjingkrak-jingkrak gaya artis penyanyi yang ditontonnya di layar televisi sekalipun ibu tidak mengajarinya, atau anak-anak lihai mengolok-olok ibu  dan ayahnya hasil dari tayangan sinchan. Sungguh ibu, mendidik anak bukan pekerjaan sambilan yang dapat dilakukan sambil bersantai. Upaya keras mesti dikerahkan tanpa mengabaikan peran publik ibu dalam membina masyarakat. Bahkan terpatri dalam benak anak-anak tentang segala ucapan dan perbuatan ibu termasuk emosi yang terkadang keluar di bawah sadar. Oleh karena itu, seorang ibu wajib menata lisan dan amal agar sejalan dengan aqidah Islam dan syari’atnya agar tertanam kuat pada anak-anak.
Rumah tangga dibangun sebagai kehidupan persahabatan saling menasehati dalam mentaati Allah.  Orang tua bukanlah sosok tanpa dosa yang layak mengingkari nasehat dari anak-anaknya. Hal ini penting diperhatikan karena tumbuhnya rasa percaya diri pada anak-anak mengemban keyakinannya dapat ditumbuhkan dengan mengkondisikan mereka berbuat  sebagaimana keyakinan yang telah ditanamkan orang tua. Sekalipun kadang-kadang  sikap kanak-kanaknya membuat keterusterangan yang membuat orang dewasa tersinggung. Contoh anak yang telah ditanamkan kewajiban tutup aurat, ketika melihat perempuan tanpa kerudung dan jilbab, spontan berkata: ”Kok gak pakai kerudung, auratnya kelihatan”. Menemui kondisi seperti itu ibu tidak perlu menegur atau memarahinya.
Penanaman pemahaman pada anak-anak juga mesti mencermati teknik komunikasi yang sesuai dan reflective listening, yakni berempati terhadap ungkapan anak.  Kemampuan empati ibu dapat memudahkan penanaman mafahim (pemahaman) Islam pada anak-anak. sehingga ia dapat memilih dan teknik yang tepat bagi masing-masing anaknya. Hal ini makin terlatih ketika ketika ibu aktif menjalankan peran publiknya untuk membina masyarakat, menghadapi banyak orang yang berbeda-beda karakternya. Jam terbang akan mematangkan kemampuannya tentang bagaimana menghadapi emosi anak, ungkapan anak, ikut merasakan berbagai keluhannya sebagaimana ia berusaha menyelesaikan permasalahan dalam membina masyarakat.
Peran ibu yang demikian besar dalam pendidikan anak tidak berarti meniadakan peran ayah. Sebaliknya ayah mesti turut berperan sehingga tidak terjadi dualisme teladan. Hasil pendidikan sang ibu tentang manajemen waktu bisa sirna oleh teladan ayah yang sering bersantai. Demikian pula kegembiraan memikul ketaatan kepada Allah juga mesti disaksikan anak-anak dari sosok ayahnya. Artinya orang tua mesti mendiskusikan intens tentang perkembangan pendidikan anak-anak agar keduanya mengambil peran yang tepat untuk mencapai hasil sesuai harapan rumah tangga.
Anak merupakan generasi penerus bangsa. Mendidiknya bukanlah trial and error, karena setiap upaya pembinaan terhadap anak akan berdampak langsung terhadap pembentukan pola sikap dan pola pikirnya, sehingga perlu perhatian yang cukup besar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar