Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Bulan ini, Mei, menjadi bulan
istimewa bagi seseorang yang berprofesi guru seperti saya, Hari Pendidikan
Nasional di bulan Mei. Berbagai kegiatan pun diadakan oleh pihak terkait untuk
memeriahkan peringatan ini. Mulai dari diadakannya seminar pendidikan,
lomba-lomba kreativitas anak dan guru, jalan santai dan kegiatan yang tidak
pernah ketinggalan, yaitu upacara bendera.
Meriahnya peringatan ini sebenarnya tidak akan mampu menghapus luka
pendidikan di negara kita. Berbagai permasalahan yang terkait dengan pendidikan
tak pernah berhenti mendera masyarakat.
Media publik tak pernah sepi dari pemberitaan mengenai kacaunya pendidikan
kita. Permasalahan yang dari tahun ke tahun tak pernah berkurang malah semakin
bertambah. Permasalahan yang masih hangat ditelinga kita, yaitu kasus pelecehan
seksual siswa Taman Kanak-kanan di sekolahan ternama Jacarta International
School (JIS), menyusul kasus penyiksaan yang berujung pada menghilangnya nyawa
siswa STPN yang dilakukan oleh seniornya. Kasus-kasus pendidikan ini seperti
fenomena gunung es, tampak sedikit di permukaan yang padahal bongkahan masalahnya
yang tidak terekspos lebih banyak lagi.
Apa yang salah dengan pendidikan di negeri kita? Evaluasi tak pernah henti
dilakukan, sampai-sampai kurikulum pendidikan di negeri ini pun selalu
berganti-ganti, CBSA; KBK; KTSP; dan sekarang Kurikulum 2013 yang baru saja
pada tahap awal pelaksanaan. Pembaharuan kurikulum ini dianggap solusi oleh
pakar pendidikan terhadap berbagai fenomena masalah pendidikan yang datang
silih berganti. Tapi kenyataannya solusi itu tidak pernah menyentuh pada penyelesaian
permasalahan yang mendasar.
Hakikatnya, pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru. Pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah dan
Negara/Pemerintah. Ketiga pihak ini memiliki porsi tanggung jawab yang sama
besar. Hilangnya salah peran dari salah satu pihak tersebut akan menjadikan
goyahnya pendidikan, bahkan pupusnya tujuannya pendidikan.
Islam sebagai rahmatan lil ’alamiin juga
memberikan pengaturan terhadap pendidikan. Dalam sistem pendidikan Islam,
tujuan dari penyelenggaraan pendidikan adalah agar tercapainya individu yang
berkepribadian Islam; yakni pola sikap dan pola pikir yang islami. Sehingga
dengan tujuan pendidikan seperti ini akan membentuk anak-anak menjadi generasi
yang sholeh. Belajar agama tidak hanya sekedar memenuhi angka-angka rapor tapi
benar-benar berujung pada perubahan perilaku yang islami. Pemberian ilmu
pengetahuan, sain dan tekhnologi betujuan terhadap penguasaan keahlian dan
kreativitas tidak hanya sekedar untuk memperoleh sensasional atau menarik
perhatian orang lain tetapi berkiprah untuk merajut problem solving untuk berbagai permasalahan yang ada di masyarakat.
Objek dari upaya pendidikan adalah anak. Lingkungan pertama pembentukan
kepribadian anak adalah dari lingkungan keluarganya. Dalam lingkungan keluarga
ini orang tua lah yang berperan besar memberikan pendidikan terhadap anak. Harapan
orang tua terhadap anak tercantum dalam do’a sebagaimana dalam Al Qur’an :
”Dan
orang-orang yang berkata : Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk pandangan mata dan
jadikanlah kami (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa” (TQS. Al Furqon :
74)
Masih adakah penyejuk mata? Sementara anak-anak dan remaja hidup dengan
mengedepankan tuntutan egois demi memuaskan keinginan-keinginannya saja. Hal ini
merupakan konsekuensi dari tatanan hidup yang tidak islami.
Islam memandang bahwa masa kanak-kanak adalah masa paling tepat untuk
memberi warna kepada anak-anak untuk bersiap menghadapi masa pembebanan hukum
syara’ (mulai baligh). Masa efektif justru sejak awal proses persemaian janin
dalam perut sang ibu. Seorang psikolog, Elizabeth B. Hurlock mencatat bahwa
kondisi emosional ibu hamil dapat mempengaruhi perkembangan anak yang belum
dilahirkannya. Awal kelahiran bayi masih murni dalam keadaan fitrah sebagaimana
sabda Rasulullah Saw :
”Tidak
ada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali menepati fitrah, maka kedua orang
tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi” (HR. Bukhari)
Betapa besar peran orang tua memberi warna kepada anak-anaknya dan apabila
terlambat memperhatikan pembinaannya maka penyesalan akan dituai dunia akhirat.
Ibnu Qoyim mengutip perkataan para ulama mengingatkan para orang tua :
”Sesungguhnya
Allah akan bertanya tentang anak kepada orang tuanya. Barang siapa mengabaikan pendidikan
anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Dan
kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh para orang tua yang mengabaikan
mereka dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan sunnah”.
Memperhatikan pendidikan anak bukanlah memilihkan sekolah yang termahal
biayanya, atau sekedar membelikan buku-bukunya, karena saat ini tidak satu
sekolah pun menjamin pembentukan kepribadian anak didik. Mutu sekolah dinilai
dari ’keberhasilannya’ meluluskan alumni yang dapat diterima di sekolah atau
perguruan tinggi favorit. Kesuksesan pendidikan diukur dengan angka rapor,
bukan kesholihan anak. Pembinaan anak dalam islam mengarahkan tanggung jawab
orang tua untuk memenuhi seruan Allah :
”Wahai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Padanya ada malaikat yang kasar dan
bengis yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (TQS. At Tahrim:
6)
Perkembangan pendidikan anak melalui beberapa tahap. Menurut Fatima Hereen,
tahap awal pendidikan anak merupakan tahap Islamic Milieu, sejak anak berusia 0
tahun hingga 20 tahun. Tahap ini memerlukan upaya mengkondisikan lingkungan
islami. Kerja keras orang tua, terutama ibu sebagai pengemban peran utama ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur
rumah tangga) diperlukan demi memenuhi harapan meraih target pendidikan anak. Dalam
upaya pencapaian tujuan pendidikan ini seorang ibu tidak boleh menjadikan anak
sebagai kambing hitam pelalaiannya terhadap kewajiban. Banyak contoh terjadi di
masyarakat, ibu-ibu yang melalaikan sholat 5 waktu lantaran masih punya anak
kecil, susah nanti kalau lagi sholat anak ngompol. Alasan ’kilse’, ’demi anak’
membuat ibu rela menjerumuskan diri ke dalam dosa. Juga banyak ibu yang
meninggalkan pengajian, pembinaan islam
dengan alasan yang sama. Padahal pengabaian kewajiban ini membuat anak
kehilangan kesempatan untuk memperoleh suasana islami. Padahal keterlibatan
anak-anak dalam amal ibadah merupakan saat tepat memberikan teladan , bukan
hanya dengan kisah-kisah. Semua dikemas
ibu dalam bentuk teladan bukan teori. Alangkah kosongnya kisah-kisah teladan
apabila tidak diikuti dengan teladan sang ibu.
Keteladanan berfungsi penting dalam pendidikan anak. Imam Ahmad bin Hambal
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : ”Barang siapa mengatakan kepada anaknya:
Kemarilah aku beri sesuatu, tetapi tidak memberinya itu merupakan kebohongan”.
Tuntutan yang indah tentang keteladanan yang begitu penting. Anak-anak
meniru perilaku orang dewasa yang mereka amati. Seorang ibu tidak boleh under estimate terhadap anak, dengan
menganggap anak kecil tidak tahu apa-apa. Mesti disadari bahwa indera mereka dapat
mengihsas apa saja yang ada di sekitarnya. Tidak heran apabila dalam sekejap
mereka dapat berjingkrak-jingkrak gaya artis penyanyi yang ditontonnya di layar
televisi sekalipun ibu tidak mengajarinya, atau anak-anak lihai mengolok-olok
ibu dan ayahnya hasil dari tayangan
sinchan. Sungguh ibu, mendidik anak bukan pekerjaan sambilan yang dapat
dilakukan sambil bersantai. Upaya keras mesti dikerahkan tanpa mengabaikan
peran publik ibu dalam membina masyarakat. Bahkan terpatri dalam benak
anak-anak tentang segala ucapan dan perbuatan ibu termasuk emosi yang terkadang
keluar di bawah sadar. Oleh karena itu, seorang ibu wajib menata lisan dan amal
agar sejalan dengan aqidah Islam dan syari’atnya agar tertanam kuat pada
anak-anak.
Rumah tangga dibangun sebagai kehidupan persahabatan saling menasehati
dalam mentaati Allah. Orang tua bukanlah
sosok tanpa dosa yang layak mengingkari nasehat dari anak-anaknya. Hal ini
penting diperhatikan karena tumbuhnya rasa percaya diri pada anak-anak
mengemban keyakinannya dapat ditumbuhkan dengan mengkondisikan mereka
berbuat sebagaimana keyakinan yang telah
ditanamkan orang tua. Sekalipun kadang-kadang
sikap kanak-kanaknya membuat keterusterangan yang membuat orang dewasa
tersinggung. Contoh anak yang telah ditanamkan kewajiban tutup aurat, ketika
melihat perempuan tanpa kerudung dan jilbab, spontan berkata: ”Kok gak pakai
kerudung, auratnya kelihatan”. Menemui kondisi seperti itu ibu tidak perlu
menegur atau memarahinya.
Penanaman pemahaman pada anak-anak juga mesti mencermati teknik komunikasi
yang sesuai dan reflective listening,
yakni berempati terhadap ungkapan anak.
Kemampuan empati ibu dapat memudahkan penanaman mafahim (pemahaman) Islam pada anak-anak. sehingga ia dapat memilih
dan teknik yang tepat bagi masing-masing anaknya. Hal ini makin terlatih ketika
ketika ibu aktif menjalankan peran publiknya untuk membina masyarakat,
menghadapi banyak orang yang berbeda-beda karakternya. Jam terbang akan
mematangkan kemampuannya tentang bagaimana menghadapi emosi anak, ungkapan
anak, ikut merasakan berbagai keluhannya sebagaimana ia berusaha menyelesaikan
permasalahan dalam membina masyarakat.
Peran ibu yang demikian besar dalam pendidikan anak tidak berarti
meniadakan peran ayah. Sebaliknya ayah mesti turut berperan sehingga tidak
terjadi dualisme teladan. Hasil pendidikan sang ibu tentang manajemen waktu
bisa sirna oleh teladan ayah yang sering bersantai. Demikian pula kegembiraan
memikul ketaatan kepada Allah juga mesti disaksikan anak-anak dari sosok
ayahnya. Artinya orang tua mesti mendiskusikan intens tentang perkembangan
pendidikan anak-anak agar keduanya mengambil peran yang tepat untuk mencapai
hasil sesuai harapan rumah tangga.
Anak merupakan generasi penerus bangsa. Mendidiknya bukanlah trial and error, karena setiap upaya
pembinaan terhadap anak akan berdampak langsung terhadap pembentukan pola sikap
dan pola pikirnya, sehingga perlu perhatian yang cukup besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar