Namanya Masliati biasa dipanggil
Lia, aku bertemu dengannya saat aku mencari tempat kos di wilayah kayu tangi.
Sebagai mahasiswa baru disalah satu PTN di Banjarmasin aku sangat senang karena
mendapatkan kenalan baru pada waktu itu.
Setiap acara penyambutan mahasiswa baru
(maba), aktivis kampus yang berasal dari berbagai gerakan organisasi mengadakan
kegiatan penyambutan mahasiswa baru. Salah satu kegiatan yang diadakan adalah
memberikan layanan pendampingan mencari tempat kos tuk maba. Aku yang dari awal
mendaftar kuliah sampai registrasi sendirian dan tidak begitu mengenal wilayah
Kayu Tangi memutuskan menghubungi salah satu contact person yang ada dalam
kegiatan itu.
Meskipun jumlah kos di Kayu tangi
sangat banyak, ternyata tidak berimbang dengan jumlah mahasiswa yang memerlukan
tempat kos. Saat itu aku bersama kak Leny mahasiswa jurusan Bahasa Inggris
angkatan 2002 berkeliling tuk mencari kos. Tibalah aku di kosnya Lia, di kos
ini pertama kali aku diperkenalkan dengannya. Awalnya kami mengira akan menjadi
teman 1 kos karena ada kamar yang akan kosong 1 bulan ke depan.
Sambil menunggu kamar kos itu kosong aku tinggal
bersama kak Leny di Komplek Kayu Tangi 2. Kos yang berupa rumah bidak 2 pintu.
Di rumah bidak itu aku tinggal bertiga bersama dengan Kak Leny dan Kak Tati. Mereka adalah aktivis
gerakan mahasiswa muslim eksternal kampus. Rumah bidak sebelah jadi sekretariat
gerakan itu dan dihuni oleh kak Tiyah. Mereka semua baik kepadaku tidak
menganggapku seperti orang lain, memperlakukanku seperti adik mereka sendiri.
Sampai akhirnya waktu 1 bulan itu tiba. Dan ternyata kos Lia itu tidak jadi
kosong karena penghuninya tidak jadi keluar, akupun mencari kos yang lain.
Pertemuanku dengan Lia di kosnya
waktu pertama kali seperti energy yang selalu mempertautkan kami. Sejak saat
itu kami menjadi sahabat yang disatukan Allah karena keimanan.
Masliati, seorang gadis berkulit
putih, tidak terlalu lembut dan juga tidak kasar tapi tegas. Perawakannya lebih
tinggi dari ku. Dia berasal dari Batulicin berdarah Amuntai. Berbeda denganku
yang memiliki saudara banyak, dia adalah anak tunggal. Kami dibawah satu payung
naungan yang sama, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial namun berbeda
program studi, Lia di Pendidikan Ekonomi dan aku Pendidikan Kewarganegaraan.
Pada semester awal perkuliahan,
aktivitasku tidak padat. Kuliahku yang hanya berkisar dari senin sampai kamis
dengan jadwal yang padat ditambah dengan keadaanku yang masih beroreintasi
dengan suasana kampus membuatku menjadi mahasiswa yang study oriented. Tidak
ada yang terlalu istimewa dengan aktivitasku waktu itu, tidak seperti apa yang
kubayangkan saat SMA kalau perkuliahan itu akan dipenuhi dengan
aktivitas-aktivitas keorganisasian yang sangat padat.
Aku termasuk mahasiswa yang cepat
beradaptasi dan cepat dalam memahami perkuliahan. Meskipun tergolong baru, aku
termasuk mahasiswa yang aktif dalam setiap perkuliahan di kelasku. Teman-teman
baruku sering kaget ketika tiba-tiba aku mengacungkan tangan saat diskusi atau heran
saat aku terlalu antusias menjelaskan tentang suatu hal dalam perkuliahan,
karena sejatinya aku termasuk mahasiswa baru yang pendiam waktu itu.
Aku dengan Lia termasuk mahasiswa
yang aktif di kelas saat perkuliahan. Meskipun program studi kami berbeda, pada
mata kuliah umum kami sering tergabung. Waktu pertemuan kami pun terbatas waktu
itu. Kami berteman dengan baik.
Pada semester 2 masa perkuliahan
aku memutuskan untuk aktif mengikuti sebuah kelompok kecil pengajian atau yang
biasa disebut halaqah dan aktif tuk
menjadi anggota organisasi keislaman tingkat fakultas. Seperti jodoh, semuanya
atas kehendak Allah, aku dengan Lia pun dipertautakn dalam setiap kegiatan yang
aku ikuti.
Dalam perhalaqahan itu aku
tergabung bersama Lia, Kak Uwi dan Kak Ayu, Musyrifah atau pembina kami waktu
itu adalah Kak Mala yang selanjutnya diteruskan oleh Kak Amali (tentang mereka
akan penulis ceritakan pada kesempatan lain). Halaqah kami rutin 2 kali
seminggu. Dalam halaqah ini selain kami mengkaji tentang pemikiran dan berbagai
hal tentang keislaman kami selalu rutin untuk mensharingkan tentang aktivitas
keseharian kami. Aku dan Lia pun semakin akrab, bahkan kami sudah seperti
saudara.
Sejak saat itu kami merencanakan
tentang kegiatan-kegiatan yang akan kami adakan di kampus. Kami bertekad untuk
benar-benar menjadi agent of change
ditengah kalangan mahasiswa yang terlalu egois mementingkan diri sendiri dan
masa bodoh terhadap kondisi kekinian masyarakat yang semakin merosot dari segi
akhlak dan tingkat kesejahteraan.
Lingkungan program studi menjadi titik awal kami dalam melakukan gerakan
perubahan. Membentuk sebuah kelompok studi islam(KSI) di tingkat prodi adalah
awal bentuk riil upaya kami. Dengan berbagai cemo’ohan dari teman di prodi kami
tetap optimis menjalankan niat baik kami. Tentunya dengan kondisi prodi yang
berbeda, tantangan yang kami hadapi pun berbeda. Lia menjadi Ketua Akhwat di
KSI Al Iqtishodi Prodi Pend. Ekonomi dan aku menjadi Ketua Akhwat di KSI Shira
‘al fikr Prodi Pend. Kewarganegaraan. Segala hal yang kami alami selalu kami
sharingkan di kelompok kecil kami, kehadiran Kak Mala sangat inspiratif bagi
kami tuk menjalankan misi-misi kami selanjutnya.
Kami mulai sibuk dengan
kegiatan-kegiatan keorganisasian kami, baik organisasi di tingkat fakultas
maupun di tingkat prodi ini. Berbagai bentuk kegiatan kami lakukan, mulai dari
mengembangkan opini keislaman, memberikan penyadaran tentang isu-isu kekinian
di kampus dengan membagi selebaran, menempel pamplet, mengadakan pengajian,
menghidupkan diskusi di kampus, dan yang paling penting adalah mengkader
mahasiswa tuk bergerak bersama kami. Lebaran idul fitri di tahun 2006 merupakan
lebaran pertama kali kami saat di KSI. Kami bekerja sama untuk membuat sebuah
Kartu Lebaran. Sehari sebelum kami libur panjang tuk lebaran idul fitri kami
membagikan kartu lebaran itu ke seluruh dosen-dosen kami dan
organisasi-organisasi yang ada di fkip sebagai bentuk sosialisasi keberadaan
KSI kami. Aku dan Lia pun berpisah untuk menikmati libur panjang kami. Lia
pulang ke Batulicin dan aku ke kabupaten Banjar.
Lia yang dulunya pernah menjadi
kandidat Galuh Banjar untuk tingkat Provinsi Kalimantan Selatan mewakili
daerahnya menjadi seorang aktivis pergerakan di kampus. Sosoknya yang tegas dan
visioner membulatkan tekadnya untuk mencalonkan diri menjadi salah satu
kandidat Ketua HIMA (Himpunan Mahasiswa) Pend. Ekonomi. Dengan persaingan yang
sangat ketat karena ada dua kandidat yang juga cukup berpengaruh di prodinya
Lia pun terpilih menjadi Ketua HIMA 2007-2008.
Aku pun mengembangkan
perjuanganku di kampus dengan berhasil membentuk sebuah kelompok diskusi
tingkat prodi yang diberi nama CEC (Civic Education Club). Tentunya perjuangan
ini tak sepi lagi, pengkaderan yang sudah dijalankan sejak membentuk KSI
membuahkan hasil. Bersama sahabatku satu angkatan di tingkat prodi, Iffah dan
beberapa orang adik tingkat ku kami menjadikan CEC ini membumi di lingkungan
prodi. Setiap selasa siang rutin kami mengadakan diskusi dan dialog tentang
isu-isu kekinian di salah satu Aula Perpustakaan Pusat kampusku. Kadang kala
kami mengundang dosen untuk menjadi pemateri. Kegiatan ini cukup menarik minat
mahasiswa dan cukup membantu untuk mencerdaskan mereka.
Peran kami yang cukup strategis
di prodi, membuat kami tertarik untuk berkolaborasi membuat kegiatan tingkat fakultas.
Pada peringatan Hari Kartini tahun 2007 kami mengadakan talk show tingkat
fakultas dengan tema “Kartini di Era Globalisasi’. Lia bersama Ibu Helda (salah
satu Dosen Poliban) menjadi narasumber, aku sebagai Hostnya. Menjadi host talk
show membuat ku harus lebih aktif daripada narasumber untuk mengarahkan pokok
pembahasan. Kegiatan ini kami adakan atas nama KSI sebagai penyelenggara.
Kegiatan kami semakin padat,
bahkan di hari minggu pun kami selalu ada kegiatan. Aku semakin jarang pulang
ke rumah. Orang tua ku pun mulai mengeluhkan kegiatanku. Ketidak pulanganku ke
rumah setiap hari minggu membuat ayahku marah. Aku pun menjadi tidak karuan
karenanya, Lia begitu memahamiku. Dia melihat keresahan yang nampak dari raut
mukaku. Tidak hanya dukungan moril yang ia berikan bahkan dukungan yang
bersifat materi pun dia lakukan karena saat itu aku mendapatkan punishment dari
orang tuaku. Aku selalu teringat suara khasnya ketika dia memanggilku “Ukhti…”.
Kami terus melakukan pergerakan,
dengan terlibat di BEM, BE-DEMA bahkan kami sama-sama aktif di organisasi keislaman
eksternal kampus. Pada tahun 2008 aku pun juga terpilih menjadi Ketua HIMA
Prodi PKn. Tidak terlalu sulit bagiku saat itu untuk memenangkan pemilihan itu,
mengingat kegiatan kemahasiswaan dilingkungan prodi yang kembali hidup sejak
KSI terbentuk dan citraku sebagai mahasiswa teladan yang diakui dosen, bukan
karena aku tidak pernah bolos (aku sering absen kuliah karena adanya benturan
jadwal kuliah dengan kegiatan organisasi) tapi karena keaktifanku di kampus dan
nilai-nilaiku yang murni bukan hasil contekan dan tidak pernah memberi
contekan, sebagai bentuk sikap keteladanan tuk mahasiswa yang lain, selain itu
juga pemikiran-pemikiran kritis yang sering ku ungkapkan saat perkuliahan baik
lisan maupun tertulis, tidak peduli apakah itu bertentangan dengan pemikiran
dosen atau tidak selama itu menjunjung nilai-nilai kebenaran dan keadilan akan
terus kusuarakan. Aku pun terpilih menjadi Ketua HIMAPKn periode 2008-2009. Ini
bukan suatu kemenangan bagiku, tanggung jawab yang besar menambah-nambah
amanahku.
Sudah lebih dari 2 tahun aku
dengan Lia menjadi 1 tim dalam halaqah. Dia mengingatkanku untuk jangan
melalaikan amanah yang lain, dia sering melihat aku terlalu focus dalam satu
amanah organisasi dan mengabaikan amanah yang lain. Kemampuanku memang sangat
terbatas, saat itu dalam genggaman
amanahku ada 6 organisasi yang harus dijalankan. Meskipun semuanya bermuara
pada satu tujuan memberikan penyadaran pada mahasiswa untuk bangkit berjuang
memperbaiki keadaan negeri ini dengan kapasitasnya sebagai mahasiswa.
Aku bersama Lia seiring sejalan,
diilandasi dengan kekuatan iman dan
pemikiran yang sama kami bergerak. Pernah kami saling menginap untuk
menuntaskan satu amanah. Pernah kami sama-sama berfikir tuk bekerja menjadi
tukang cuci piring di rumah makan untuk mendapatkan uang agar bisa pergi ke
Jakarta mengikuti Konferensi Islam Internasional di Gelora Bung Karno (akhirnya
kami pergi dengan cara kami masing-masing), kami yang sering makan sepiring
berdua sebelum memulai halaqah, kami yang kadang rapat di malam hari tuk
menyusun strategi,kami yang selalu saling memotivasi, saling mengingatkan dan
saling mendo’akan. Kami pernah tertawa bersama, bersenda gurau untuk
menghilangkan penat kerasnya pemikiran kami saat itu.
Pada tahun 2009 dia menikah
dengan salah seorang Hafiz dari Amuntai yang kebetulan masih kerabatnya. Sejak
saat itu aktivitasnya terbatas, kebersamaan kami tak seperti dulu lagi. Usai
wisuda pada tahun 2009, Lia dan suaminya pun pindah ke Amuntai. Sejak itu kami
tidak pernah lagi bertemu dan kontak kami pun terputus. Terakhir pada tahun
2011 aku bertemu dengan teman se kosnya, katanya Lia ada berkunjung ke kampus
tapi saat itu aku sudah tidak aktif lagi di kampus dan dia sudah punya anak.
Sahabatku, kata-kata ini yang
selalu menggerakkan kita : “Seandainya
bukan karena Iman tidak akan ada Perang Badar, tidak akan ada perubahan, dan
Islampun tidak akan tersebar di bumi. Maka pantaskah kita mengaku beriman
sedangkan kita tidak melakukan perubahan”. Kalimat syahadat dan takbir yang
selalu menguatkan dan menggelora di hati kita untuk terus bergerak dan berjuang
untuk perubahan.
Semoga semangat itu tidak akan
pernah mati, meski kadang layu. Semoga cahaya Allah itu selalu menaungi kita,
meski kita kadang lalai. Semoga engkau mendapatkan keturunan yang shaleh dan
shalehah yang akan membangkitkan dan memenangkan perjuangan itu. Karena
perjuangan itu tidak akan pernah mati meskipun kita berhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar