Selasa, 22 April 2014

Aku dan Sahabatku


Namanya Masliati biasa dipanggil Lia, aku bertemu dengannya saat aku mencari tempat kos di wilayah kayu tangi. Sebagai mahasiswa baru disalah satu PTN di Banjarmasin aku sangat senang karena mendapatkan kenalan baru pada waktu itu.
Setiap acara penyambutan mahasiswa baru (maba), aktivis kampus yang berasal dari berbagai gerakan organisasi mengadakan kegiatan penyambutan mahasiswa baru. Salah satu kegiatan yang diadakan adalah memberikan layanan pendampingan mencari tempat kos tuk maba. Aku yang dari awal mendaftar kuliah sampai registrasi  sendirian dan tidak begitu mengenal wilayah Kayu Tangi memutuskan menghubungi salah satu contact person yang ada dalam kegiatan itu. 

Meskipun jumlah kos di Kayu tangi sangat banyak, ternyata tidak berimbang dengan jumlah mahasiswa yang memerlukan tempat kos. Saat itu aku bersama kak Leny mahasiswa jurusan Bahasa Inggris angkatan 2002 berkeliling tuk mencari kos. Tibalah aku di kosnya Lia, di kos ini pertama kali aku diperkenalkan dengannya. Awalnya kami mengira akan menjadi teman 1 kos karena ada kamar yang akan kosong 1 bulan ke depan. 

Sambil  menunggu kamar kos itu kosong aku tinggal bersama kak Leny di Komplek Kayu Tangi 2. Kos yang berupa rumah bidak 2 pintu. Di rumah bidak itu aku tinggal bertiga bersama dengan  Kak Leny dan Kak Tati. Mereka adalah aktivis gerakan mahasiswa muslim eksternal kampus. Rumah bidak sebelah jadi sekretariat gerakan itu dan dihuni oleh kak Tiyah. Mereka semua baik kepadaku tidak menganggapku seperti orang lain, memperlakukanku seperti adik mereka sendiri. Sampai akhirnya waktu 1 bulan itu tiba. Dan ternyata kos Lia itu tidak jadi kosong karena penghuninya tidak jadi keluar, akupun mencari kos yang lain.

Pertemuanku dengan Lia di kosnya waktu pertama kali seperti energy yang selalu mempertautkan kami. Sejak saat itu kami menjadi sahabat yang disatukan Allah karena keimanan.
Masliati, seorang gadis berkulit putih, tidak terlalu lembut dan juga tidak kasar tapi tegas. Perawakannya lebih tinggi dari ku. Dia berasal dari Batulicin berdarah Amuntai. Berbeda denganku yang memiliki saudara banyak, dia adalah anak tunggal. Kami dibawah satu payung naungan yang sama, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial namun berbeda program studi, Lia di Pendidikan Ekonomi dan aku  Pendidikan Kewarganegaraan.

Pada semester awal perkuliahan, aktivitasku tidak padat. Kuliahku yang hanya berkisar dari senin sampai kamis dengan jadwal yang padat ditambah dengan keadaanku yang masih beroreintasi dengan suasana kampus membuatku menjadi mahasiswa yang study oriented. Tidak ada yang terlalu istimewa dengan aktivitasku waktu itu, tidak seperti apa yang kubayangkan saat SMA kalau perkuliahan itu akan dipenuhi dengan aktivitas-aktivitas keorganisasian yang sangat padat.
Aku termasuk mahasiswa yang cepat beradaptasi dan cepat dalam memahami perkuliahan. Meskipun tergolong baru, aku termasuk mahasiswa yang aktif dalam setiap perkuliahan di kelasku. Teman-teman baruku sering kaget ketika tiba-tiba aku mengacungkan tangan saat diskusi atau heran saat aku terlalu antusias menjelaskan tentang suatu hal dalam perkuliahan, karena sejatinya aku termasuk mahasiswa baru yang pendiam waktu itu. 

Aku dengan Lia termasuk mahasiswa yang aktif di kelas saat perkuliahan. Meskipun program studi kami berbeda, pada mata kuliah umum kami sering tergabung. Waktu pertemuan kami pun terbatas waktu itu. Kami berteman dengan baik.

Pada semester 2 masa perkuliahan aku memutuskan untuk aktif mengikuti sebuah kelompok kecil pengajian atau yang biasa disebut halaqah dan aktif tuk menjadi anggota organisasi keislaman tingkat fakultas. Seperti jodoh, semuanya atas kehendak Allah, aku dengan Lia pun dipertautakn dalam setiap kegiatan yang aku ikuti.

Dalam perhalaqahan itu aku tergabung bersama Lia, Kak Uwi dan Kak Ayu, Musyrifah atau pembina kami waktu itu adalah Kak Mala yang selanjutnya diteruskan oleh Kak Amali (tentang mereka akan penulis ceritakan pada kesempatan lain). Halaqah kami rutin 2 kali seminggu. Dalam halaqah ini selain kami mengkaji tentang pemikiran dan berbagai hal tentang keislaman kami selalu rutin untuk mensharingkan tentang aktivitas keseharian kami. Aku dan Lia pun semakin akrab, bahkan kami sudah seperti saudara.

Sejak saat itu kami merencanakan tentang kegiatan-kegiatan yang akan kami adakan di kampus. Kami bertekad untuk benar-benar menjadi agent of change ditengah kalangan mahasiswa yang terlalu egois mementingkan diri sendiri dan masa bodoh terhadap kondisi kekinian masyarakat yang semakin merosot dari segi akhlak dan tingkat  kesejahteraan. Lingkungan program studi menjadi titik awal kami dalam melakukan gerakan perubahan. Membentuk sebuah kelompok studi islam(KSI) di tingkat prodi adalah awal bentuk riil upaya kami. Dengan berbagai cemo’ohan dari teman di prodi kami tetap optimis menjalankan niat baik kami. Tentunya dengan kondisi prodi yang berbeda, tantangan yang kami hadapi pun berbeda. Lia menjadi Ketua Akhwat di KSI Al Iqtishodi Prodi Pend. Ekonomi dan aku menjadi Ketua Akhwat di KSI Shira ‘al fikr Prodi Pend. Kewarganegaraan. Segala hal yang kami alami selalu kami sharingkan di kelompok kecil kami, kehadiran Kak Mala sangat inspiratif bagi kami tuk menjalankan misi-misi kami selanjutnya.

Kami mulai sibuk dengan kegiatan-kegiatan keorganisasian kami, baik organisasi di tingkat fakultas maupun di tingkat prodi ini. Berbagai bentuk kegiatan kami lakukan, mulai dari mengembangkan opini keislaman, memberikan penyadaran tentang isu-isu kekinian di kampus dengan membagi selebaran, menempel pamplet, mengadakan pengajian, menghidupkan diskusi di kampus, dan yang paling penting adalah mengkader mahasiswa tuk bergerak bersama kami. Lebaran idul fitri di tahun 2006 merupakan lebaran pertama kali kami saat di KSI. Kami bekerja sama untuk membuat sebuah Kartu Lebaran. Sehari sebelum kami libur panjang tuk lebaran idul fitri kami membagikan kartu lebaran itu ke seluruh dosen-dosen kami dan organisasi-organisasi yang ada di fkip sebagai bentuk sosialisasi keberadaan KSI kami. Aku dan Lia pun berpisah untuk menikmati libur panjang kami. Lia pulang ke Batulicin dan aku ke kabupaten Banjar.

Lia yang dulunya pernah menjadi kandidat Galuh Banjar untuk tingkat Provinsi Kalimantan Selatan mewakili daerahnya menjadi seorang aktivis pergerakan di kampus. Sosoknya yang tegas dan visioner membulatkan tekadnya untuk mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat Ketua HIMA (Himpunan Mahasiswa) Pend. Ekonomi. Dengan persaingan yang sangat ketat karena ada dua kandidat yang juga cukup berpengaruh di prodinya Lia pun terpilih menjadi Ketua HIMA 2007-2008.
Aku pun mengembangkan perjuanganku di kampus dengan berhasil membentuk sebuah kelompok diskusi tingkat prodi yang diberi nama CEC (Civic Education Club). Tentunya perjuangan ini tak sepi lagi, pengkaderan yang sudah dijalankan sejak membentuk KSI membuahkan hasil. Bersama sahabatku satu angkatan di tingkat prodi, Iffah dan beberapa orang adik tingkat ku kami menjadikan CEC ini membumi di lingkungan prodi. Setiap selasa siang rutin kami mengadakan diskusi dan dialog tentang isu-isu kekinian di salah satu Aula Perpustakaan Pusat kampusku. Kadang kala kami mengundang dosen untuk menjadi pemateri. Kegiatan ini cukup menarik minat mahasiswa dan cukup membantu untuk mencerdaskan mereka.

Peran kami yang cukup strategis di prodi, membuat kami tertarik untuk berkolaborasi membuat kegiatan tingkat fakultas. Pada peringatan Hari Kartini tahun 2007 kami mengadakan talk show tingkat fakultas dengan tema “Kartini di Era Globalisasi’. Lia bersama Ibu Helda (salah satu Dosen Poliban) menjadi narasumber, aku sebagai Hostnya. Menjadi host talk show membuat ku harus lebih aktif daripada narasumber untuk mengarahkan pokok pembahasan. Kegiatan ini kami adakan atas nama KSI sebagai penyelenggara. 

Kegiatan kami semakin padat, bahkan di hari minggu pun kami selalu ada kegiatan. Aku semakin jarang pulang ke rumah. Orang tua ku pun mulai mengeluhkan kegiatanku. Ketidak pulanganku ke rumah setiap hari minggu membuat ayahku marah. Aku pun menjadi tidak karuan karenanya, Lia begitu memahamiku. Dia melihat keresahan yang nampak dari raut mukaku. Tidak hanya dukungan moril yang ia berikan bahkan dukungan yang bersifat materi pun dia lakukan karena saat itu aku mendapatkan punishment dari orang tuaku. Aku selalu teringat suara khasnya ketika dia memanggilku “Ukhti…”. 

Kami terus melakukan pergerakan, dengan terlibat di BEM, BE-DEMA bahkan kami sama-sama aktif di organisasi keislaman eksternal kampus. Pada tahun 2008 aku pun juga terpilih menjadi Ketua HIMA Prodi PKn. Tidak terlalu sulit bagiku saat itu untuk memenangkan pemilihan itu, mengingat kegiatan kemahasiswaan dilingkungan prodi yang kembali hidup sejak KSI terbentuk dan citraku sebagai mahasiswa teladan yang diakui dosen, bukan karena aku tidak pernah bolos (aku sering absen kuliah karena adanya benturan jadwal kuliah dengan kegiatan organisasi) tapi karena keaktifanku di kampus dan nilai-nilaiku yang murni bukan hasil contekan dan tidak pernah memberi contekan, sebagai bentuk sikap keteladanan tuk mahasiswa yang lain, selain itu juga pemikiran-pemikiran kritis yang sering ku ungkapkan saat perkuliahan baik lisan maupun tertulis, tidak peduli apakah itu bertentangan dengan pemikiran dosen atau tidak selama itu menjunjung nilai-nilai kebenaran dan keadilan akan terus kusuarakan. Aku pun terpilih menjadi Ketua HIMAPKn periode 2008-2009. Ini bukan suatu kemenangan bagiku, tanggung jawab yang besar menambah-nambah amanahku.
Sudah lebih dari 2 tahun aku dengan Lia menjadi 1 tim dalam halaqah. Dia mengingatkanku untuk jangan melalaikan amanah yang lain, dia sering melihat aku terlalu focus dalam satu amanah organisasi dan mengabaikan amanah yang lain. Kemampuanku memang sangat terbatas, saat itu dalam  genggaman amanahku ada 6 organisasi yang harus dijalankan. Meskipun semuanya bermuara pada satu tujuan memberikan penyadaran pada mahasiswa untuk bangkit berjuang memperbaiki keadaan negeri ini dengan kapasitasnya sebagai mahasiswa.

Aku bersama Lia seiring sejalan, diilandasi dengan kekuatan iman  dan pemikiran yang sama kami bergerak. Pernah kami saling menginap untuk menuntaskan satu amanah. Pernah kami sama-sama berfikir tuk bekerja menjadi tukang cuci piring di rumah makan untuk mendapatkan uang agar bisa pergi ke Jakarta mengikuti Konferensi Islam Internasional di Gelora Bung Karno (akhirnya kami pergi dengan cara kami masing-masing), kami yang sering makan sepiring berdua sebelum memulai halaqah, kami yang kadang rapat di malam hari tuk menyusun strategi,kami yang selalu saling memotivasi, saling mengingatkan dan saling mendo’akan. Kami pernah tertawa bersama, bersenda gurau untuk menghilangkan penat kerasnya pemikiran kami saat itu.

Pada tahun 2009 dia menikah dengan salah seorang Hafiz dari Amuntai yang kebetulan masih kerabatnya. Sejak saat itu aktivitasnya terbatas, kebersamaan kami tak seperti dulu lagi. Usai wisuda pada tahun 2009, Lia dan suaminya pun pindah ke Amuntai. Sejak itu kami tidak pernah lagi bertemu dan kontak kami pun terputus. Terakhir pada tahun 2011 aku bertemu dengan teman se kosnya, katanya Lia ada berkunjung ke kampus tapi saat itu aku sudah tidak aktif lagi di kampus dan dia sudah punya anak.

Sahabatku, kata-kata ini yang selalu menggerakkan kita : “Seandainya bukan karena Iman tidak akan ada Perang Badar, tidak akan ada perubahan, dan Islampun tidak akan tersebar di bumi. Maka pantaskah kita mengaku beriman sedangkan kita tidak melakukan perubahan”. Kalimat syahadat dan takbir yang selalu menguatkan dan menggelora di hati kita untuk terus bergerak dan berjuang untuk perubahan.

Semoga semangat itu tidak akan pernah mati, meski kadang layu. Semoga cahaya Allah itu selalu menaungi kita, meski kita kadang lalai. Semoga engkau mendapatkan keturunan yang shaleh dan shalehah yang akan membangkitkan dan memenangkan perjuangan itu. Karena perjuangan itu tidak akan pernah mati meskipun kita berhenti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar