Minggu, 11 Mei 2014

Mari Ngejoss (Ngejomblo Sampai Sah)


Adakah diantara sahabat yang masih ngejomblo saat ini? Tahukah kalian asal muasal kata jomblo ? Jomblo merupakan kata kuno oleh mereka yang terbiasa berpacaran dan menganggap pacaran sebagai cara tepat untuk mencari pasangan ideal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jomblo itu berasal dari kata jomlo yang artinya ‘wanita tua’. Ada juga yang bilang jomblo berasal dari Bahasa Latin jomblous yang artinya ‘sendiri’. Seiring dengan perkembangan zaman, kata ini bermetamorfosis menjadi istilah yang nggak disukai oleh banyak orang, yaitu laki-laki dan perempuan yang belum punya pacar atau sudah ‘putus’ dengan pacarnya.
Belakangan ini, jomblo sudah dijadikan sebagai pilihan oleh anak-anak muda dalam menjalani hidup. Jomblo bahkan dijadikan ikhtiar untuk memantaskan diri bagi sang jodoh. Beda dengan pacaran, yang sering kali hanyalah jalan pintas untuk mencicipi maksiat bersama dengan lawan jenis. Anak muda yang menjalani masa depannya dengan menjomblo yakin meski mereka tidak pacaran mereka pasti akan dipertemukan Allah dengan jodohnya.

“Dan diantara bukti-bukti kekuasaan-Nya, diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram di sampingnya dengan diadakan-Nya rasa cinta dan kasih saying di antaramu. Sesungguhnya dalam hal ini terdapat bukti untuk kaum yang berpikir”. (TQS. Ar Rum: 21)

Jodoh sudah Allah ciptakan untuk masing-masing diri kita. Jadi, tidak perlu mencarinya dengan cara yang haram. Lagipula, tidak ada jaminan bahwa dengan pacaran akan cepat bertemu jodoh yang kita inginkan. Insya Allah dengan menjomblo dan memantaskan diri untuk sang jodoh kita akan segera bertemu dengan jodoh yang kita harapkan.

Wanita-wanita keji untuk laki-laki keji dan laki-laki keji untuk wanita-wanita yang keji; wanita-wanita baik untuk laki-laki baik dan laki-laki baik untuk wanita-wanita yang baik. Mereka yang dituduh bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka yang menuduh. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia”. (TQS. An Nur: 26)

Ada yang bilang kalau anak muda yang menjomblo itu karena dia tidak laku. Ini salah besar! Laku? Memang barang dagangan? Ingat, kita diciptakan berpasang-pasangan. Ada siang, ada malam. Ada timur, ada barat. Ada kamu, ada aku (hemm). Jodoh itu sudah ditulis di Lauhul Mahfuz, sebagaimana rezeki dan maut (baca pembahasan tentang rezeki  di sini). Artinya kita tidak perlu ‘ngobral diri’ biar laku. Sebab, masing-masing kita sudah ada pasangannya. Tapi, apa kita tidak perlu mencari jodoh? Ini juga tidak tepat.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka”. (TQS. Ar Rad: 11)

Allah tidak akan mengubah nasib kita kalau bukan kita sendiri yang mengubahnya. Jadi, Allah memberi kita hak untuk mengubah nasib kita. Nah, dalam hal jodoh juga sama. Kita juga harus ikhtiar atau berusaha sekuat tenaga untuk mendapat jodoh yang kita idamkan. Caranya dengan memantaskan diri, bukan berpangku tangan atau berpacaran.
Jomblo adalah prinsip. Sayangnya, hanya segelintir anak muda yang punya prinsip ini. Banyak dari mereka yang mengira punya pacar itu enak. Padahal, pacar belum tentu akan menjadi suami atau istri dimasa depan. Masa muda mestinya kita gunakan untuk melakukan ibadah dan kebaikan., bukan pacaran. Di umur kita yang masih muda, tidak ada yang bisa menafsirkan bagaimana masa depan kita nantinya. Apakah kita tetap masih hidup, atau sudah dipanggil oleh-Nya. Ingat, urusan maut hanya Allah yang tahu. Bisa saja kan, kita yang masih muda ini dipanggil lebih dulu oleh-Nya daripada mereka yang tua-tua.
Memang sih, ada aja orang yang melihat sebelah mata status jomblo. Abaikan saja! Bukankah sebenarnya kita tidak benar-benar sendiri? Ada Allah yang senantiasa bersama kita. Tapi, jangan pula iri sama mereka yang kemana-mana bersama pacarnya. Karena, sesungguhnya mereka ada di jalan yang salah. Tetaplah istiqamah di jalan Allah, jalan yang diridhai-Nya.
Jomblo bukan status yang perlu ditakuti. Takutlah kepada Allah. Tapi, takut kepada Allah bukan dengan menjauhi-Nya., tapi justru mendekati-Nya. Takut kepada Allah itu memang unik. Sebab, semakin kita takut kepada-Nya, semakin kita dekat dengan-Nya. Kok bisa? Ya bisa. Orang yang takut kepada Allah akan mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, memperbanyak ibadah dan semakin sering mengerjakan amal saleh.
Coba deh lihat anak yang jomblo dan yang pacaran. Anak yang jomblo, kalau memang menggunakan status jomblonya untuk kebaikan, akan bisa fokus dan istiqomah memperbaiki diri, karena dia yakin jodoh di tangan Allah. Tinggal bagaimana cara kita menjemput jodoh tersebut, apakah dengan cari memperbaiki diri atau memperburuk diri. Sementara itu, anak yang pacaran paling-paling fokusnya pada permainan hawa nafsu.
Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.  Karena itu gunakanlah dengan sebaik-baiknya. Kita di dunia ini tidak hidup selamanya. Ada masa ketika kita hancur dan kembali kepada-Nya. Pertanyaannya, apakah bekal kita sudah cukup? Kalau belum, mari kita banyak-banyak berbuat baik kepada sesama dan beribadah kepada-Nya. Waktu muda adalah waktu terindah dalam hidup kita, kita harus mengisinya dengan hal yang indah pula. Jangan sedetik pun terlewat tanpa perbuatan yang bermanfaat. Kalau kita dihina orang-orang yang tidak suka dengan kejombloan kita, hiraukan saja. Anggap mereka angin lalu yang cepat hilang dan tidak berbekas.
Sekali lagi, jomblo adalah prinsip yang harus kita pegang sebelum menikah. Bukan sekedar menjomblo, tapi juga memantaskan diri, fokus pada cita-cita, dan membahagiakan orang tua. Prinsip ini harus sebisa mungkin kita pertahankan agar hidup kita semakin tertata dan indah, baik sekarang maupun esok hari.
Tidak ada kata yang paling indah selain ungkapan syukur kepada Allah karena kita masih dianugerahi nikmat iman. Lihat sekeliling kita, ketika sebagian orang terlena dengan cintanya yang belum halal, kita hidup dalam ketenangan sambil menantikan jodoh yang halal.
Jodoh itu Allah yang memberi. Tugas kita hanya mempersiapkan dan memantaskan diri untuk menerimanya. Banyak diantara kita yang ingin masuk surga tapi jalannya salah. Banyak juga yang ingin jodoh saleh atau saleha tapi diri sendiri belum saleh atau saleha. Jodoh itu ibarat kancing dan lubang baju. Kancing tidak boleh terlalu besar untuk lubang, begitu juga sebaliknya. Orang yang berjodoh itu pasti serasi. Orang saleh akan berjodoh dengan orang yang salehah. Bermimpi mendapatkan jodoh yang saleh atau saleha tapi diri sendiri masih suka bermaksiat sama dengan mimpi di siang bolong.
Terus yang udah terlanjur pacaran gimana dong? Tanpa banyak pertimbangan saya sarankan, udah putusin aja.
Terus kalau udah putus pasti galau, gimana dong? Udah deh, tidak ada gunanya galau. Kalau memang kita galau karena sebab yang jelas, Islam sebagai agama yang sempurna sudah menyediakan obat anti galau yang insya Allah tokcer.

“Ingatlah hanya dengan mengingat allah hati akan tenang”. (TQS. A Rad: 28)

Seorang penulis yang sedang gencar menyebarkan virus JOSS, Akhi Rahman memberikan tips yang bisa dilakukan untuk mengobati galau :
  •   Ambil wudhu. Dengan berwudhu, perasaan akan fresh. Hati yang bergejolak akan tenang dan stabil kembali;
  •  Beristighfar. Rasulullah bersabda, “Barang siapa sennatiasa beristighfar maka Allah akan memberikan kegembiraan dari kesedihannya dan kelapangan bagi kesempitannya, serta memberikan rizki dari arah yang tiada disangka-sangka” (HR. Abu Daud)
  •  Shalat sunnah 2 rakaat. Niatkan sebagai shalat sunah mutlak.
  • Sempatkan untuk berzikir agar kegalauan benar-benar hilang dan berganti dengan ketenangan.
  • Bertobat dan memohon ampun kepada Allah dari segala perbuatan yang membuat galau. Benar-benarlah khusyuk berdo’a kepada-Nya. Sampaikan keluh kesah kepada-Nya. Karena sebaik-baik teman curhat adalah Allah dan sebaik-baik tempatnya adalah tempat shalat kita.

Nah yang perlu kita pahami lagi, sebenarnya jomblo itu diakui Negara dan pacaran tidak. Kenapa? Silahkan deh periksa KTP masing-masing, lalu lihat ‘status’. Di situ tertulis ‘belum nikah/lajang. Tidak ada kan tulisan’pacaran’. Negara saja tidak mengakui pacaran, apalagi agama. Jadi, bagi yang jomblo woles aja, aman. Bagi yang pacaran, hubungan kalian illegal. Ops.
Sebenarnya, jombloer sejati itu tidak benar-benar sendiri. Ada Allah yang senantiasa menemaninya. Dia selalu menjaga dan setia mendengar curhatannya. Mereka yang pacaran sebenarnya juga tidak benar-benar berdua, sebab setan ada di antara mereka. Jadi, pilih ditemani Allah apa setan?

Orang Tua dan Pendidikan Anak


Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Bulan ini, Mei, menjadi bulan istimewa bagi seseorang yang berprofesi guru seperti saya, Hari Pendidikan Nasional di bulan Mei. Berbagai kegiatan pun diadakan oleh pihak terkait untuk memeriahkan peringatan ini. Mulai dari diadakannya seminar pendidikan, lomba-lomba kreativitas anak dan guru, jalan santai dan kegiatan yang tidak pernah ketinggalan, yaitu upacara bendera.
Meriahnya peringatan ini sebenarnya tidak akan mampu menghapus luka pendidikan di negara kita. Berbagai permasalahan yang terkait dengan pendidikan tak pernah berhenti mendera masyarakat.  Media publik tak pernah sepi dari pemberitaan mengenai kacaunya pendidikan kita. Permasalahan yang dari tahun ke tahun tak pernah berkurang malah semakin bertambah. Permasalahan yang masih hangat ditelinga kita, yaitu kasus pelecehan seksual siswa Taman Kanak-kanan di sekolahan ternama Jacarta International School (JIS), menyusul kasus penyiksaan yang berujung pada menghilangnya nyawa siswa STPN yang dilakukan oleh seniornya. Kasus-kasus pendidikan ini seperti fenomena gunung es, tampak sedikit di permukaan yang padahal bongkahan masalahnya yang tidak terekspos lebih banyak lagi.
Apa yang salah dengan pendidikan di negeri kita? Evaluasi tak pernah henti dilakukan, sampai-sampai kurikulum pendidikan di negeri ini pun selalu berganti-ganti, CBSA; KBK; KTSP; dan sekarang Kurikulum 2013 yang baru saja pada tahap awal pelaksanaan. Pembaharuan kurikulum ini dianggap solusi oleh pakar pendidikan terhadap berbagai fenomena masalah pendidikan yang datang silih berganti. Tapi kenyataannya solusi itu tidak pernah menyentuh pada penyelesaian permasalahan yang mendasar.
Hakikatnya, pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah dan Negara/Pemerintah. Ketiga pihak ini memiliki porsi tanggung jawab yang sama besar. Hilangnya salah peran dari salah satu pihak tersebut akan menjadikan goyahnya pendidikan, bahkan pupusnya tujuannya pendidikan.
Islam sebagai rahmatan lil ’alamiin juga memberikan pengaturan terhadap pendidikan. Dalam sistem pendidikan Islam, tujuan dari penyelenggaraan pendidikan adalah agar tercapainya individu yang berkepribadian Islam; yakni pola sikap dan pola pikir yang islami. Sehingga dengan tujuan pendidikan seperti ini akan membentuk anak-anak menjadi generasi yang sholeh. Belajar agama tidak hanya sekedar memenuhi angka-angka rapor tapi benar-benar berujung pada perubahan perilaku yang islami. Pemberian ilmu pengetahuan, sain dan tekhnologi betujuan terhadap penguasaan keahlian dan kreativitas tidak hanya sekedar untuk memperoleh sensasional atau menarik perhatian orang lain tetapi berkiprah untuk merajut problem solving untuk berbagai permasalahan yang ada di masyarakat.
Objek dari upaya pendidikan adalah anak. Lingkungan pertama pembentukan kepribadian anak adalah dari lingkungan keluarganya. Dalam lingkungan keluarga ini orang tua lah yang berperan besar memberikan pendidikan terhadap anak. Harapan orang tua terhadap anak tercantum dalam do’a sebagaimana dalam Al Qur’an :

”Dan orang-orang yang berkata : Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk pandangan mata dan jadikanlah kami (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa” (TQS. Al Furqon : 74)

Masih adakah penyejuk mata? Sementara anak-anak dan remaja hidup dengan mengedepankan tuntutan egois demi memuaskan keinginan-keinginannya saja. Hal ini merupakan konsekuensi dari tatanan hidup yang tidak islami.
Islam memandang bahwa masa kanak-kanak adalah masa paling tepat untuk memberi warna kepada anak-anak untuk bersiap menghadapi masa pembebanan hukum syara’ (mulai baligh). Masa efektif justru sejak awal proses persemaian janin dalam perut sang ibu. Seorang psikolog, Elizabeth B. Hurlock mencatat bahwa kondisi emosional ibu hamil dapat mempengaruhi perkembangan anak yang belum dilahirkannya. Awal kelahiran bayi masih murni dalam keadaan fitrah sebagaimana sabda Rasulullah Saw :

”Tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali menepati fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi” (HR. Bukhari)

Betapa besar peran orang tua memberi warna kepada anak-anaknya dan apabila terlambat memperhatikan pembinaannya maka penyesalan akan dituai dunia akhirat. Ibnu Qoyim mengutip perkataan para ulama mengingatkan para orang tua :

”Sesungguhnya Allah akan bertanya tentang anak kepada orang tuanya. Barang siapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Dan kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh para orang tua yang mengabaikan mereka dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan sunnah”.


Memperhatikan pendidikan anak bukanlah memilihkan sekolah yang termahal biayanya, atau sekedar membelikan buku-bukunya, karena saat ini tidak satu sekolah pun menjamin pembentukan kepribadian anak didik. Mutu sekolah dinilai dari ’keberhasilannya’ meluluskan alumni yang dapat diterima di sekolah atau perguruan tinggi favorit. Kesuksesan pendidikan diukur dengan angka rapor, bukan kesholihan anak. Pembinaan anak dalam islam mengarahkan tanggung jawab orang tua untuk memenuhi seruan Allah :

”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Padanya ada malaikat yang kasar dan bengis yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (TQS. At Tahrim: 6)

Perkembangan pendidikan anak melalui beberapa tahap. Menurut Fatima Hereen, tahap awal pendidikan anak merupakan tahap Islamic Milieu, sejak anak berusia 0 tahun hingga 20 tahun. Tahap ini memerlukan upaya mengkondisikan lingkungan islami. Kerja keras orang tua, terutama ibu sebagai pengemban peran utama ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) diperlukan demi memenuhi harapan meraih target pendidikan anak. Dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan ini seorang ibu tidak boleh menjadikan anak sebagai kambing hitam pelalaiannya terhadap kewajiban. Banyak contoh terjadi di masyarakat, ibu-ibu yang melalaikan sholat 5 waktu lantaran masih punya anak kecil, susah nanti kalau lagi sholat anak ngompol. Alasan ’kilse’, ’demi anak’ membuat ibu rela menjerumuskan diri ke dalam dosa. Juga banyak ibu yang meninggalkan pengajian, pembinaan islam  dengan alasan yang sama. Padahal pengabaian kewajiban ini membuat anak kehilangan kesempatan untuk memperoleh suasana islami. Padahal keterlibatan anak-anak dalam amal ibadah merupakan saat tepat memberikan teladan , bukan hanya dengan kisah-kisah.  Semua dikemas ibu dalam bentuk teladan bukan teori. Alangkah kosongnya kisah-kisah teladan apabila tidak diikuti dengan teladan sang ibu.
Keteladanan berfungsi penting dalam pendidikan anak. Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : ”Barang siapa mengatakan kepada anaknya: Kemarilah aku beri sesuatu, tetapi tidak memberinya itu merupakan kebohongan”.
Tuntutan yang indah tentang keteladanan yang begitu penting. Anak-anak meniru perilaku orang dewasa yang mereka amati. Seorang ibu tidak boleh under estimate terhadap anak, dengan menganggap anak kecil tidak tahu apa-apa. Mesti disadari bahwa indera mereka dapat mengihsas apa saja yang ada di sekitarnya. Tidak heran apabila dalam sekejap mereka dapat berjingkrak-jingkrak gaya artis penyanyi yang ditontonnya di layar televisi sekalipun ibu tidak mengajarinya, atau anak-anak lihai mengolok-olok ibu  dan ayahnya hasil dari tayangan sinchan. Sungguh ibu, mendidik anak bukan pekerjaan sambilan yang dapat dilakukan sambil bersantai. Upaya keras mesti dikerahkan tanpa mengabaikan peran publik ibu dalam membina masyarakat. Bahkan terpatri dalam benak anak-anak tentang segala ucapan dan perbuatan ibu termasuk emosi yang terkadang keluar di bawah sadar. Oleh karena itu, seorang ibu wajib menata lisan dan amal agar sejalan dengan aqidah Islam dan syari’atnya agar tertanam kuat pada anak-anak.
Rumah tangga dibangun sebagai kehidupan persahabatan saling menasehati dalam mentaati Allah.  Orang tua bukanlah sosok tanpa dosa yang layak mengingkari nasehat dari anak-anaknya. Hal ini penting diperhatikan karena tumbuhnya rasa percaya diri pada anak-anak mengemban keyakinannya dapat ditumbuhkan dengan mengkondisikan mereka berbuat  sebagaimana keyakinan yang telah ditanamkan orang tua. Sekalipun kadang-kadang  sikap kanak-kanaknya membuat keterusterangan yang membuat orang dewasa tersinggung. Contoh anak yang telah ditanamkan kewajiban tutup aurat, ketika melihat perempuan tanpa kerudung dan jilbab, spontan berkata: ”Kok gak pakai kerudung, auratnya kelihatan”. Menemui kondisi seperti itu ibu tidak perlu menegur atau memarahinya.
Penanaman pemahaman pada anak-anak juga mesti mencermati teknik komunikasi yang sesuai dan reflective listening, yakni berempati terhadap ungkapan anak.  Kemampuan empati ibu dapat memudahkan penanaman mafahim (pemahaman) Islam pada anak-anak. sehingga ia dapat memilih dan teknik yang tepat bagi masing-masing anaknya. Hal ini makin terlatih ketika ketika ibu aktif menjalankan peran publiknya untuk membina masyarakat, menghadapi banyak orang yang berbeda-beda karakternya. Jam terbang akan mematangkan kemampuannya tentang bagaimana menghadapi emosi anak, ungkapan anak, ikut merasakan berbagai keluhannya sebagaimana ia berusaha menyelesaikan permasalahan dalam membina masyarakat.
Peran ibu yang demikian besar dalam pendidikan anak tidak berarti meniadakan peran ayah. Sebaliknya ayah mesti turut berperan sehingga tidak terjadi dualisme teladan. Hasil pendidikan sang ibu tentang manajemen waktu bisa sirna oleh teladan ayah yang sering bersantai. Demikian pula kegembiraan memikul ketaatan kepada Allah juga mesti disaksikan anak-anak dari sosok ayahnya. Artinya orang tua mesti mendiskusikan intens tentang perkembangan pendidikan anak-anak agar keduanya mengambil peran yang tepat untuk mencapai hasil sesuai harapan rumah tangga.
Anak merupakan generasi penerus bangsa. Mendidiknya bukanlah trial and error, karena setiap upaya pembinaan terhadap anak akan berdampak langsung terhadap pembentukan pola sikap dan pola pikirnya, sehingga perlu perhatian yang cukup besar.


Senin, 28 April 2014

Revisi atas Kesalahan Pemahaman Rizki



Pemikiran “rizki di tangan Allah” juga telah mengalami pergeseran sehingga kehilangan maknanya. Pemikiran tersebut menjadi kosong, dan tidak  membentuk pemahaman apa-apa, terutama ketika makna pemikiran yang diyakini tadi bisa mendorong seorang muslim agar melakukan aktivitas sesuai dengan pemahamannya. Dengan hilangnya makna pemikiran tersebut, kemudian berkembang khurafat dan tahayyul dalam diri mereka. Pemikiran khurafat dan tahayyul itu, antara lain adalah, “rizki tergantung pada usaha manusia, sehingga usaha manusialah yang menentukan rizki”,  “rizki itu tergantung pada akal dan kedudukan, sehingga siapa yang lebih pandai, rizkinya lebih banyak, demikian juga seorang atasan lebih banyak rizkinya dibanding bawahan”, “rizki adalah materi yang dapat dihitung secara matematika, sehingga ketika jumlahnya berkurang, naka rizkinya tentu berkurang”. Inilah pemikiran khurafat dan tahayyul yang berkembang dan mencengjeram kaum muslimin saat ini.
Akibatnya ummat Islam menjadi ummat yang materialistic. Tidak bisa berkorban untuk kepentingan Islam dan menjadi orang yang bakhil, takut menentang kezaliman karena khawatir akan kehilangan kedudukan dan hartanya. Jika mencari ilmu, belajar atau lainnya, juga tidak bertujuan untuk meningkatkan kualitas berpikir, namun hanya semata-mata untuk meraih kenikmatan materi.  Karena itu, ketika tujuannya telah  tercapai, proses belajarnya akan berhenti. Sebab semuanya telah tercapai. Padahal pemikiran seperti itu adalah debu-debu kotor yang harus dibersihkan dari benak mereka, sehingga makna pemikiran “rizki di tangan Allah SWT” tersebut benar-benar jernih dan cemerlang.
Secara Etimologis Rizki yang berasal dari bahasa arab, Razaqa-Yarzuqu-Rizq yang berarti pemberian. Adapun menurut istilah rizki adalah apa saja yang dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa dimanfaatkan atau tidak.
Definisi “apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh)” meliputi semua bentuk rizki; halal, haram, positif, negative, sakit, kecerdasan, ketidakcerdasan, cantik, jelek dan sebagainya.  Semuanya merupakan rizki. Definisi ini menjelaskan, bahwa rizki berbeda dengan hak milik. Sebab, hak milik sellau memperhatikan cara, yaitu syar’I atau tidak syar’I ; jika caranya syar’I, maka hak miliknya halal, dan jika tidak syar’I, maka hak miliknya tidak halal. Tetapi, dua-duanya tetap disebut rizki. Definisi ini juga meliputi rizki yang diperoleh secara mutlak tanpa usaha, seperti pemberian, waris, diyat, ataupun karena usaha, seperti bekerja, menjadi broker, atau yang lain, termasuk kerja yang diharamkan, seperti  mencuri, merampok, dan sebagainya. Semuanya ini bisa mendatangkan rizki meskipun kemudian ada yang halal dan haram.  Mengenai definisi “baik yang bisa dimanfaatkan maupun tidak” meliputi semua bentuk rizki, baik yang positif maupun yang negative, sekaligus menafikan rizki yang dianggap hanya sesuatu yang bisa dimanfaatkan saja.
Inilah makna pemikiran mengenai rizki, yaitu apa saja yang diberikan Allah SWT. Yang diperoleh manusia. Allah SWT. Juga dinyatakan sebagai sebab bagi rizki manusia. Allah SWT. berfirman :

“Dan di langit ada (sebab-sebab) rizki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.“ (TQS. Adh Dhariyat: 22-23)


Pemaknaan dari ayat diatas adalah “Kalian tidak bisa  berbicara dengan menggunakan mulut orang lain, maka kalian juga tidak bisa memakan rizki orang lain, selain rizki kalian sendiri”.
Karena itu, setiap makhluk yang diberikan kehidupan oleh Allah pasti telah Dia tetapkan rizkinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT. :

“Dan tidak ada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rizkinya telah ditetapkan oleh Allah.” (TQS. Hud:6)

Ayat ini secara tegas telah memaparkan, bahwa tidak satu pun makhluk yang diberi kehidupan oleh Allah, kemudian dibiarkan hidup tanpa jaminan rizki dari-Nya. Sebab, siapakah yang menjamin rizki manusia? Tentu bukan manusia, sebaliknya Allah. Maka, ketika ada orang tua yang takut keturunannya lahir tanpa jaminan rizki, kemudian mereka membunuh keturunannya karena takut akan kelaparan, dengan tegas ketakutan tersebut dibantah Allah :

“Kalian jangan membunuh anak-anak kalian karena takut akan kelaparan, padahal Kamilah Yang (menjamin) memberikan rizki mereka, juga rizki kalian.” (TQS. Al Isra: 31)

Melalui ayat ini, Allah SWT ingin menjelaskan, bahwa rizki itu tidak bisa dihitung dengan angka matematika. Maka, ketika seseorang mempunyai gaji Rp. 2.000.000 dimakan seorang, akan berubah komposisinya ketika masih single, dengann ketika telah menikah, dimana angka di atas sebelumnya dibagi satu, menjadi dua, suami-isteri, dan jika mempuyai satu anak, akan berkurang lagi menjadi Rp. 666.000 per orang. Akhirnya muncul ketakutan dan rasa takut itu karena jumlahnya berkurang. Akibatnya muncul rasa takut menikah, mempunyai anak dan ketakutan-ketakutan yang lain. Inilah yang dibantah Allah SWT seakan ingin menyatakan : “Bukan kamu yang menjamin rizki mereka, melainkan Akulah yang menjamin rizki mereka, juga rizki kamu”. Inilah yang dijanjikan Allah SWT. melalui orang tuanya  atau melalui orang lain.
Ayat-ayat dan makna pemikiran rizki di atas memberikan gambaran, bahwa “rizki di tangan Allah” adalah pemikiran yang menjadi keyakinan dan wajib dimiliki oleh setiap orang Islam. Karena pemikiran tersebut memang riil dan tidak kontradiksi dengan realitasnya. Orang yang mengingkarinya tentu saja menjadi kafir. Keyakinan mengenai “rizki di tangan Allah” tersebut meliputi keyakinan mengenai segala sesuatu yang diberikan oleh Allah SWT baik pemberian dalam bentuk materi, maupun non-materi. Karena itu, bisa saja gaji seseorang kecil, tetapi rezekinya besar. Dengan demikian, rizki tidak tergantung pada jabatan dan kedudukan, dan tidak tergantung pada akal, ilmu atau pun yang lain. Karena Allah telah memberikan rizki tersebut secara mutlak kepada siapapun. Tepat sekali ungkapan penyair yang menyatakan:

Kalaulah rizki tergantung pada akal,
Tentu binatan-binatang telah binasa karena kebodohannya.

Rizki merupakan kehendak Allah, tetapi bukan menafikan usaha manusia. Pemikiran “rizki di tangan Allah” adalah masalah keyakinan yang wajib dimiliki oleh setiap kaum muslim. Sedangkan masalah usaha agar “rizki di tangan Allah” tersebut sampai kepada manusia adalah masalah hukum syara’ yang menentukan rizki itu halal atau tidak. Usaha merupakan faktor kondisional yang harus dilakukan untuk mendatangkan rizki itu, namun usaha tidak menentukan banyak dan sedikitnya rizki. Jika demikian, siapa yang menjadi sebab rizki? Tentu hanya Allah SWT.
Allah yang menjadi sebab rizki, Allah yang menentukan banyak dan sedikitnya rizki. Ini adalah bentuk keyakinan kepada Allah sebagai ar Razzaq (Maha Pemberi Rizki). Karena itu sebagian Ulama mengaitkan sebab rizki tetrsebut dengan tawakkal kepada Allah SWT, sebagaimana hyang dinyatakan Hadits Nabi Saw :

“Jika kalian bertawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia telah member rizki kepada burung yang berangkat (pagi) dengan perut kosong, dan pulang dengan (perut) kenyang.” (HR. At Tirmidzi dan Ahmad)

Jadi meskipun rizki tersebut ditentukan oleh Allah, dan usaha manusia tidak mempengaruhi besar dan kecilnya rizki, tetapi usaha merupakan factor yang menentukan halal dan haramnya rizki yang diberikan Allah SWT. Karena itu, mengapa ada perbedaan antara rizki dengan pemilikan rizki. Setiap muslim wajib berusaha mencari “rizki di tangan Allah” dengan usaha yang mengantarkannya pada hasil yang halal. Meskipun hakikat rizki yang halal dan haram tersebut sama-sama dari Allah SWT, tetapi status halal dan haram tersebut adalah manusialah yang menentukannya.
Karena itu manusia akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah karena cara memperoleh rizkinya; apakah bertentangan dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atau tidak? Demikian halnya pertanggungjawaban atas pemanfaatan rizki yang diberikan kepada manusia; apakah untuk sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah atau tidak? Sebab, semuanya itu wilayah aktivitas manusia yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban karena sedikit atau banyaknya, atau karena baik dan buruknya rizki yang diberikan kepadanya.
Wallahu’alan bissawab.

Sumber :
Hafidz Abdurrahma,  Diskursus Islam Politik dan spiritual, hal 169.
An Nabhani, as-Syaksiyah, juz I, hal. 110.
Al Ghazali, at Tawhid wa at Tawakkul, hal. 107

Setia



Tiap kali mendengar kata “setia”, dalam hati saya bergumam “emmm… gue banget”. Betapa tidak, hal itu terbukti jelas ketika saya masih menjalankan aktivitas maksiat dalam bentuk “pacaran”.  Tak pernah sekalipun saya pergi berboncengan atau berdua-duaan dengan lelaki  selain pacar saya, kalaupun ada aktivitas yang mengharuskan saya berkumpul dengan laki-laki itupun harus dalam urusan pekerjaan. Sampai akhirnya saya mengalami kejadian yang berkaitan dengan tepat waktu. Saya dengan pacar saya (mantan) batal kencan karena saya telat beberapa menit, dan hal itu jadi permasalahan besar baginya. Tapi setelah kejadian itu sebenarnya hubungan kami masih  baik-baik saja. Sampai akhirnya saya mendapatkan pencerahan dari seorang inspirator yang mengemukakan bahwa orang yang tidak tepat waktu adalah orang yang tidak setia. Setelah saya pahami, ” hemmm betul juga”.
Kecil memang, hanya permasalahan waktu tapi sangat esensial. Menyepelekan waktu bertemu dengan seseorang sama dengan meremehkan pertemuan dengan orang tersebut. Yang berarti juga mengurangi nilai kesetiaan kita pada orang tersebut. Lalu bagaimana dengan kesetiaan kita pada Tuhan yang menciptakan kita? Saya sendiri langsung getir ketika memahami masalah waktu ini. Saya pun langsung memutuskan untuk tidak pacaran lagi.
Hakikatnya manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Beribadah secara kaffah (menyeluruh), baik dalam keadaan berbaring ataupun berdiri, baik saat sendiri ataupun sedang beramai-ramai, untuk urusan pribadi dan urusan Negara. Allah menurunkan dien Islam dengan sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan. Mirisnya, kita hanya mengingat Allah ketika shalat saja, ketika zakat saja, ketika haji saja, di luar itu kita malah lupa dan terlalu asyik dengan aktivitas keduniawian kita, padahal Allah Maha Melihat apa yang kita perbuat. Hal yang kecil saja, saat sholat kita menutup aurat dengan sempurna, tapi ketika sholat berakhir aurat kembali diumbar dengan senangnya; ketika sholat shaff laki-laki dan perempuan terpisah, usai sholat laki-laki dan perempuan bercampur baur seakan Allah tidak memberikan aturan terhadap itu. Padahal menutup aurat dan tidak bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan baik dalam sholat maupun di luar sholat aturannya sama. Dan banyak lagi aturan aturan Allah lainnya yang kita sebagai kaum muslim sendiri yang menyepelekannya.
Anehnya lagi, dengan alasan masih muda atau mungkin dengan alasan menunggu kemantapan hati, kita malah menunda-nunda waktu untuk beribadah kepada-Nya. Sholatnya nanti saja menunggu waktu luang; hajinya nanti saja padahal mampu; berjilbabnya nanti saja, menjilbabi hati lebih duhulu; bertobatnya nanti saja saat tua, selagi muda ingin puas bersenang-senang dulu. Itulah segelintir alasan manusia, yang padahal di hadapan Allah alasan seperti itu tidak berguna sama sekali.
Hal yang begitu kita remehkan tapi malah meragukan kesetiaan kita kepada-Nya meskipun kita tetap menyebutnya sebagai Tuhan Yang Esa di lisan kita.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat) Allah, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al A’raf: 179)

Saya pun masih belajar, memahami ini membuat saya menangis dengan maksiat yang pernah saya lakukan. Meskipun tak ada yang tau tapi Allah tau, meskipun kecil tapi maksiat kecil itulah yang menodai keimanan saya.
Marilah sahabat kita murnikan keimanan kita kepada Allah SWT, yang dengan keimanan itu Dia akan mencintai kita. Jangan nodai kesetiaan kita kepada Allah dengan hal-hal yang bersifat kesia-siaan.

Jumat, 25 April 2014

Perjalanan Malam dengan Sepeda Damai

ni adalah cerita tentang aku dengan sepeda tua milik teman kostku, Damai. Damai adalah salah seorang mahasiswa prodi Pendidikan Fisika di kampusku dan berada beberapa tingkat semester di bawahku. Kostku merupakan kos yang istimewa, karena disini kami penghuni kost tidak hanya dipertautkan dalam naungan atap yang sama tapi ikatan lahir dan batin kami cukup kuat, kami sudah seperti keluarga. Sepeda damai menjadi salah satu alat transportasi yang sering bergantian kami gunakan. Sepeda tua berrwarna hitam yang remnya sudah blong. Kami tidak berani menggunakannya untuk keperluan yang jauh, hanya berkisar kampus dan wilayah sekitar kost. Tapi ketika ada suatu kejadian yang menimpaku, bersama sepeda Damai ini aku melakukan perjalanan yang cukup jauh ke luar kota.
Saat itu aku adalah mahasiswa semester 6 yang sedang aktif diberbagai kegiatan di kampus. Kebetulan pada saat itu dicalonkan teman-temanku tuk menjadi calon ketua Himpunan Mahasiswa (HIMA) di program studiku. Disisi lain, di desa tempat tinggalku, ayahku yang merupakan aparatur desa juga sedang sibuk mempersiapkan pemilihan kepala desa (pambakal) yang baru. Ayahku juga berperan sebagai ketua panitia pemungutan suara (PPS) dan Tim sukses salah satu calon kepala desa waktu itu. Hari pemungutan suara kepala desa itu pun berbarengan dengan hari pemungutan suara pemilihan ketua HIMA.
H-1.
Sore itu aku sedang asyik ngobrol dengan teman sekostku tentang kondisi pergerakan di kampus, dan tiba-tiba saja Handphone ku berdering. Ada panggilan dari ayahku.
“Er, esok pemilihan pambakal, kamu pulang ikut memilih”
“Saya gak bisa Bah, saya juga pemungutan suara esok di kampus dan saya jadi kandidatnya”, sahutku.
Ayahku langsung mematikan handphonenya. jantungku langsung berdetak kencang, aku tau pasti beliau marah.
Tiba-tiba handphone berdering lagi, ayahku memanggil lagi.
“Ingat Er, kamu tidak  besar sendirian. Kalau esok tidak pulang, jangan pernah pulang sekalian”, bentak beliau.
Aku yang tersentak hanya bisa menjawab “iya… “. Handphone langsung dimatikan ayahku dari seberang.
Teman-teman di sekelilingku tidak ada yang tau kalau saat itu aku menerima telpon dari ayahku yang sedang marah. Sampai akhirnya kami pun bubar dan aku masuk ke kamarku.
Di kamar aku langsung menangis. Meski pun aku merasa di posisi yang benar, aku merasa tidak nyaman mendengar kekecewaan ayahku. Aku mengerti, posisi beliau sebagai aparatur desa yang pasti tidak nyaman dengan warga desa kalau anaknya yang sulung tidak berpartisipasi dalam pemilu kades. Disisi lain kehadiranku di kampus esok jauh lebih penting, karena kandidat wajib berhadir dalam pemilu HIMA.
Aku pun memutuskan pulang malam itu. Usai sholat magrib aku bersiap diri untuk pulang dengan mata yang masih sembab. Kulihat di luar kost ada sepeda Damai sedangkan Damai tidak ada di kost malam itu. Dengan sepeda Damai aku mengayuh pulang ke rumah tanpa seorang penghuni kost pun yang tau. Perjalanan sejauh kurang lebih 30 km ku tempuh tanpa rem dengan sepeda itu. Sepanjang jalan aku masih menangis. Pantatku pun mulai penat, karena sebelumnya aku tidak pernah mengayuh sepeda sejauh ini apalagi kondisi jalan yang kadang tidak ada penerangan membuatku merasa takut kalau tertabrak sesuatu. Sepeda itu terus kukayuh tanpa istirahat sampai ke rumah.
Sesampai di rumah orang tuaku kaget melihat kedatanganku.
“kenapa gak bilang kalau mau pulang, Abah kan bisa menjemput”, kata ayahku.
Aku diam tidak menyahut. Aku pun lngsung berganti pakaian dan menuju ke belakang tuk mencuci mukaku. Mataku pun terasa bengkak karena menangis terus menerus. Kemudian aku langsung menuju ke kamarku dan tidur tanpa sedikitpun berbicara dengan orang tuaku. Samar-samar ku dengar pembicaraan orang tuaku.
“Erni dimarahi kah jadi dia sampai kayagitu”, ibuku yang pertama kali bersuara.
Ayahku diam tidak menyahut.
“Erni itu gak bisa dikerasi, dia berani nekat”, tambah ibuku.
Pagi pun tiba, aku bangun dengan kondisi yang sudah segar. Pagi-pagi aku sudah mempersiapkan diri tuk ke TPS dengan maksud setelah memilih aku langsung balik ke kampus dengan bersepeda.
Ayahku pun berkata, “Nanti biar abah saja yang mengantar ke kampus, kamu jadi kandidat ketua HIMA kan? Sepeda itu biar nanti malam abah yang antar ke kost”.
“iya.. “, jawabku. Aku pun senang sekali, ayahku tidak marah lagi dan memberikan dukungan padaku untuk jadi ketua HIMA.
Usai ikut pemungutan suara di desa, aku pun diantar ayahku kampus. Ayahku meminta izin pada panitia yang lain untuk meninggalkan tugasnya.
Di kampus, aku pun hari itu akhirnya terpilih menjadi ketua HIMA dan sejak saat itu kedua orang tuaku pun lebih perhatian padaku. Hampir 2 hari sekali aku diantari makanan ke kos, kadang di jenguki ke kampus dan 2 kali seminggu di jemput untuk pulang bahkan berselang tidak lama dari kejadian itu aku diberi izin untuk menggunakan motor.
Sepeda Damai itu tidak mampu kulupakan kenangannya sampai sekarang.

Kamis, 24 April 2014

Ohh ODOJ... Ohh KUTUB...


2 komunitas yang bertujuan tuk mendekatkan diri pada Allah SWT dan menggapai ridho-Nya dengan berjama’ah.

Terinpirasi dari seorang ibu rumah tangga sekaligus penulis yang sangat luar biasa, mba Pritha Khalida, saya juga tertarik untuk berbagi pengalaman saya selama berada 2 komunitas di atas. Yang ingin lebih tau tentang seputar ODOJ dan KUTUB silakan buka  www.prithamori.blogspot.com atau follow @onedayonejuz dan @TahajudBerantai.

Sebelum bergabung dengan ODOJ, sebenarnya saya sudah mulai melatih diri tuk tilawah sejuz dalam sehari, tapi karena motivasinya lebih bersifat individual saya tidak konsisten melakukannya. Ketika saya sangat sibuk kadang saya tilawah paling banyak 2 lembar sehari. Ketidak-konsistenan itu membuat saya tidak nyaman, saya pun memutuskan untuk mencari tau info seputar tentang ODOJ dan mendaftarkan diri. Akhirnya saya tergabung dalam group ODOJ 1371. 

Menariknya, di ODOJ ini kita tidak hanya diberikan motivasi tuk konsisten tilawah sejuz sehari tapi saling menguatkan dalam beribadah, saling share seputar keislaman, yang tidak kalah penting temanpun jadi tambah banyak yang insya Allah akan selalu mendekatkan kita dengan kebaikan.

Selama di ODOJ banyak kejadian luar biasa yang saya rasakan. Sebelum terlibat di ODOJ saya mengalami sakit kepala yang cukup membuat saya tersiksa. Sakit kepala karena adanya peradangan. Kalau sudah sakit itu datang, saya tidak sanggup melakukan apa-apa. Hampir 2 bulan sakit itu saya derita. Pengobatan dari dokter dan pengobatan alternatif juga tidak kunjung menyembuhkan saya, sampai-sampai ayah saya pernah memberi saya obat yang kata beliau obat itu adalah obat anti nyeri yang sangat hebat, sakit apapun pasti sembuh. Apa yang terjadi? Ternyata obat itu juga tidak mempan. Meskipun sakit itu sangat membuat saya tidak nyaman, saya berusaha untuk tidak mengeluh dan tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Saat sakit itu datangpun saya mantapkan hati tuk tetap tilawah 1 juz sehabis sholat subuh, di luar dugaan saya, di tengah kekhusyu’an tilawah  sakit saya sembuh seketika. Subhanallah, tak berhenti syukur saya pada Allah SWT. Sejak saat itu pun saya semakin semangat untuk tilawah, bahkan kalau ada juz teman yang dilelang dengan senang hati saya yang mengambil lelangannnya. Tiap sakit itu datang saya tidak pernah minum obat lagi, hanya dengan tilawah serta merta menyembuhkan saya sampai akhirnya sakit itu tidak pernah kambuh lagi. Pada kondisi yang lain, sering saya mengalami suatu permasalahan atau adanya pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan yang tak terjawab. Seketika saya buka Mushaf Al Qur’an dan membaca terjemahnya, saya menemukan solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya itu. 

Al Qur’an benar-benar As Syifa (penyembuh) dan penyejuk hati bagi muslim yang benar-benar  ingin menjadikannya pedoman hidup. Melalui ODOJ ini keinginan untuk selalu dekat dengan Al Qur’an semakin kuat. Meskipun kesibukan yang sangat padat, saya tetap berusaha tuk kholas  tilawah, karena saya khawatir kalau juz saya sampai dilelang akan mengganggu khattamnya jama’ah group saya hari itu. Berbeda dengan ketika tilawah sendirian, mau 1 lembar, 2 lembar atau tidak tilawah sedikitpun sehari tidak menjadi kekhawatiran, bersalahnya cuma pada diri sendiri tidak pada jama’ah. Dan Alhamdulillah selama di ODOJ ini untuk pertama kalinya saya mampu mengkhattamkan Al Qur’an dalam 1 bulan di luar bulan Ramadhan. Sekarang group ODOJ kami berjalan hampir 2 bulan.






Dari ODOJ ini saya pun diperkenalkan dengan sebuah komunitas KUTUB, yaitu komunitas Tahajud dan Dhuha berantai. Saya tergabung dengan group KUTUB 73. Saat  bergabung saya berpikir untuk langsung keluar saja dari komunitas ini. Awalnya saya cuma merasa pada komunitas ini  hanya berkewajiban tuk lapor sudah mengerjakan tahajud dan dhuha yang menurut saya ibadah itu tanpa komunitas ini pun akan tetap saya laksanakan dan lapornya cukup ke Allah saja tidak usah ke makhluk-Nya. Kurangnya kedekatan saya dengan anggota group pun memperkuat keinginan saya. Beruntung saya mendapat wejangan dari sahabat ODOJ saya saat itu, mba Pritha Khalida, jangan hanya karena hal kecil seperti itu malah mundur dari jama’ah. Saya pun berusaha untuk semakin dekat dengan komunitas ini. Semakin mengenal komunitas ini saya pun semakin sayang, teman-teman saya pun semakin banyak. Kalau di ODOJ teman saya ada yang berasal dari Malaysia dan sekolah di Jordan, di Kutub ini teman saya selain berasal dari berbagai daerah di Indonesia, juga ada yang tinggal di Saudi Arabia, Abuja dan Taiwan. Berbagi pengetahuan dan pengalaman  dengan mereka pun semakin menyenangkan. Yang paling utama, pelaksanaan ibadah nafilah pun semakin terjaga melalui Kutub ini. Sering kami sharing tentang info-info kekinian seputar Indonesia dan kondisi kaum Muslim di berbagai Negara, dan sebelum tidur kami saling memposting do’a, bayangkan ada 30 orang yang mengaamiinkan do’a-do’a kita tiap hari, ditambah lagi 30 orang yang ada di ODOJ, alangkah luar biasanya do’a kita. Yang luar biasa lagi do’a-do’a itu tidak hanya ditujukan pada diri sendiri tapi untuk kaum muslim keseluruhan, ukhuwah Islamiyah pun terasa semakin kuat.

Semenjak berada di 2 komunitas ini pun saya merasa kehidupan saya semakin hangat, di samping dalam kehidupan keseharian saya selalu dikelilingi orang-orang yang selalu menyayangi dan mendo’akan saya, nun jauh disana saya juga memiliki teman-teman seiman yang menyayangi dan yang juga selalu mendo’akan saya.


Allah Maha tahu isi hati kita yang Maha membolak-balikkan hati manusia, semoga kita selalu diteguhkan hati dan istiqomah meniti jalan keimanan ini. Aamiin…