Pemikiran “rizki
di tangan Allah” juga telah mengalami pergeseran sehingga kehilangan maknanya.
Pemikiran tersebut menjadi kosong, dan tidak
membentuk pemahaman apa-apa, terutama ketika makna pemikiran yang
diyakini tadi bisa mendorong seorang muslim agar melakukan aktivitas sesuai
dengan pemahamannya. Dengan hilangnya makna pemikiran tersebut, kemudian
berkembang khurafat dan tahayyul dalam diri mereka. Pemikiran khurafat dan
tahayyul itu, antara lain adalah, “rizki tergantung pada usaha manusia,
sehingga usaha manusialah yang menentukan rizki”, “rizki itu tergantung pada akal dan
kedudukan, sehingga siapa yang lebih pandai, rizkinya lebih banyak, demikian
juga seorang atasan lebih banyak rizkinya dibanding bawahan”, “rizki adalah
materi yang dapat dihitung secara matematika, sehingga ketika jumlahnya
berkurang, naka rizkinya tentu berkurang”. Inilah pemikiran khurafat dan
tahayyul yang berkembang dan mencengjeram kaum muslimin saat ini.
Akibatnya ummat
Islam menjadi ummat yang materialistic. Tidak bisa berkorban untuk kepentingan
Islam dan menjadi orang yang bakhil, takut menentang kezaliman karena khawatir
akan kehilangan kedudukan dan hartanya. Jika mencari ilmu, belajar atau
lainnya, juga tidak bertujuan untuk meningkatkan kualitas berpikir, namun hanya
semata-mata untuk meraih kenikmatan materi.
Karena itu, ketika tujuannya telah
tercapai, proses belajarnya akan berhenti. Sebab semuanya telah
tercapai. Padahal pemikiran seperti itu adalah debu-debu kotor yang harus
dibersihkan dari benak mereka, sehingga makna pemikiran “rizki di tangan Allah
SWT” tersebut benar-benar jernih dan cemerlang.
Secara
Etimologis Rizki yang berasal dari bahasa arab, Razaqa-Yarzuqu-Rizq yang berarti pemberian. Adapun menurut istilah
rizki adalah apa saja yang dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa
dimanfaatkan atau tidak.
Definisi “apa
saja yang bisa dikuasai (diperoleh)” meliputi semua bentuk rizki; halal, haram,
positif, negative, sakit, kecerdasan, ketidakcerdasan, cantik, jelek dan
sebagainya. Semuanya merupakan rizki.
Definisi ini menjelaskan, bahwa rizki berbeda dengan hak milik. Sebab, hak
milik sellau memperhatikan cara, yaitu syar’I
atau tidak syar’I ; jika caranya syar’I, maka hak miliknya halal, dan
jika tidak syar’I, maka hak miliknya
tidak halal. Tetapi, dua-duanya tetap disebut rizki. Definisi ini juga meliputi
rizki yang diperoleh secara mutlak tanpa usaha, seperti pemberian, waris, diyat, ataupun karena usaha, seperti
bekerja, menjadi broker, atau yang lain, termasuk kerja yang diharamkan,
seperti mencuri, merampok, dan
sebagainya. Semuanya ini bisa mendatangkan rizki meskipun kemudian ada yang
halal dan haram. Mengenai definisi “baik
yang bisa dimanfaatkan maupun tidak” meliputi semua bentuk rizki, baik yang positif
maupun yang negative, sekaligus menafikan rizki yang dianggap hanya sesuatu
yang bisa dimanfaatkan saja.
Inilah makna
pemikiran mengenai rizki, yaitu apa saja yang diberikan Allah SWT. Yang
diperoleh manusia. Allah SWT. Juga dinyatakan sebagai sebab bagi rizki manusia.
Allah SWT. berfirman :
“Dan di langit ada
(sebab-sebab) rizki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian.
Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah
benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.“ (TQS. Adh
Dhariyat: 22-23)
Pemaknaan dari
ayat diatas adalah “Kalian tidak
bisa berbicara dengan menggunakan mulut
orang lain, maka kalian juga tidak bisa memakan rizki orang lain, selain rizki
kalian sendiri”.
Karena itu,
setiap makhluk yang diberikan kehidupan oleh Allah pasti telah Dia tetapkan
rizkinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT. :
“Dan tidak ada satupun
hewan melata di muka bumi ini, kecuali rizkinya telah ditetapkan oleh Allah.”
(TQS. Hud:6)
Ayat ini secara
tegas telah memaparkan, bahwa tidak satu pun makhluk yang diberi kehidupan oleh
Allah, kemudian dibiarkan hidup tanpa jaminan rizki dari-Nya. Sebab, siapakah
yang menjamin rizki manusia? Tentu bukan manusia, sebaliknya Allah. Maka,
ketika ada orang tua yang takut keturunannya lahir tanpa jaminan rizki,
kemudian mereka membunuh keturunannya karena takut akan kelaparan, dengan tegas
ketakutan tersebut dibantah Allah :
“Kalian jangan membunuh
anak-anak kalian karena takut akan kelaparan, padahal Kamilah Yang (menjamin)
memberikan rizki mereka, juga rizki kalian.” (TQS. Al Isra: 31)
Melalui ayat
ini, Allah SWT ingin menjelaskan, bahwa rizki itu tidak bisa dihitung dengan
angka matematika. Maka, ketika seseorang mempunyai gaji Rp. 2.000.000 dimakan
seorang, akan berubah komposisinya ketika masih single, dengann ketika telah menikah, dimana angka di atas
sebelumnya dibagi satu, menjadi dua, suami-isteri, dan jika mempuyai satu anak,
akan berkurang lagi menjadi Rp. 666.000 per orang. Akhirnya muncul ketakutan
dan rasa takut itu karena jumlahnya berkurang. Akibatnya muncul rasa takut
menikah, mempunyai anak dan ketakutan-ketakutan yang lain. Inilah yang dibantah
Allah SWT seakan ingin menyatakan : “Bukan
kamu yang menjamin rizki mereka, melainkan Akulah yang menjamin rizki mereka,
juga rizki kamu”. Inilah yang dijanjikan Allah SWT. melalui orang
tuanya atau melalui orang lain.
Ayat-ayat dan
makna pemikiran rizki di atas memberikan gambaran, bahwa “rizki di tangan
Allah” adalah pemikiran yang menjadi keyakinan dan wajib dimiliki oleh setiap
orang Islam. Karena pemikiran tersebut memang riil dan tidak kontradiksi dengan
realitasnya. Orang yang mengingkarinya tentu saja menjadi kafir. Keyakinan
mengenai “rizki di tangan Allah” tersebut meliputi keyakinan mengenai segala sesuatu
yang diberikan oleh Allah SWT baik pemberian dalam bentuk materi, maupun
non-materi. Karena itu, bisa saja gaji seseorang kecil, tetapi rezekinya besar.
Dengan demikian, rizki tidak tergantung pada jabatan dan kedudukan, dan tidak
tergantung pada akal, ilmu atau pun yang lain. Karena Allah telah memberikan
rizki tersebut secara mutlak kepada siapapun. Tepat sekali ungkapan penyair
yang menyatakan:
Kalaulah rizki tergantung
pada akal,
Tentu binatan-binatang
telah binasa karena kebodohannya.
Rizki merupakan
kehendak Allah, tetapi bukan menafikan usaha manusia. Pemikiran “rizki di
tangan Allah” adalah masalah keyakinan yang wajib dimiliki oleh setiap kaum
muslim. Sedangkan masalah usaha agar “rizki di tangan Allah” tersebut sampai
kepada manusia adalah masalah hukum syara’ yang menentukan rizki itu halal atau
tidak. Usaha merupakan faktor kondisional yang harus dilakukan untuk
mendatangkan rizki itu, namun usaha tidak menentukan banyak dan sedikitnya
rizki. Jika demikian, siapa yang menjadi sebab rizki? Tentu hanya Allah SWT.
Allah yang
menjadi sebab rizki, Allah yang menentukan banyak dan sedikitnya rizki. Ini
adalah bentuk keyakinan kepada Allah sebagai ar Razzaq (Maha Pemberi Rizki).
Karena itu sebagian Ulama mengaitkan sebab rizki tetrsebut dengan tawakkal kepada Allah SWT, sebagaimana
hyang dinyatakan Hadits Nabi Saw :
“Jika kalian bertawakkal
yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian,
sebagaimana Dia telah member rizki kepada burung yang berangkat (pagi) dengan
perut kosong, dan pulang dengan (perut) kenyang.”
(HR. At Tirmidzi dan Ahmad)
Jadi meskipun
rizki tersebut ditentukan oleh Allah, dan usaha manusia tidak mempengaruhi
besar dan kecilnya rizki, tetapi usaha merupakan factor yang menentukan halal
dan haramnya rizki yang diberikan Allah SWT. Karena itu, mengapa ada perbedaan
antara rizki dengan pemilikan rizki. Setiap muslim wajib berusaha mencari
“rizki di tangan Allah” dengan usaha yang mengantarkannya pada hasil yang
halal. Meskipun hakikat rizki yang halal dan haram tersebut sama-sama dari
Allah SWT, tetapi status halal dan haram tersebut adalah manusialah yang
menentukannya.
Karena itu
manusia akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah karena cara memperoleh
rizkinya; apakah bertentangan dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT
atau tidak? Demikian halnya pertanggungjawaban atas pemanfaatan rizki yang
diberikan kepada manusia; apakah untuk sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah
atau tidak? Sebab, semuanya itu wilayah aktivitas manusia yang harus dipertanggungjawabkan
di hadapan Allah SWT. Manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban karena
sedikit atau banyaknya, atau karena baik dan buruknya rizki yang diberikan
kepadanya.
Wallahu’alan bissawab.
Sumber :
Hafidz Abdurrahma, Diskursus Islam Politik dan spiritual, hal
169.
An Nabhani, as-Syaksiyah, juz I, hal. 110.
Al Ghazali, at Tawhid wa at Tawakkul, hal. 107