Senin, 28 April 2014

Revisi atas Kesalahan Pemahaman Rizki



Pemikiran “rizki di tangan Allah” juga telah mengalami pergeseran sehingga kehilangan maknanya. Pemikiran tersebut menjadi kosong, dan tidak  membentuk pemahaman apa-apa, terutama ketika makna pemikiran yang diyakini tadi bisa mendorong seorang muslim agar melakukan aktivitas sesuai dengan pemahamannya. Dengan hilangnya makna pemikiran tersebut, kemudian berkembang khurafat dan tahayyul dalam diri mereka. Pemikiran khurafat dan tahayyul itu, antara lain adalah, “rizki tergantung pada usaha manusia, sehingga usaha manusialah yang menentukan rizki”,  “rizki itu tergantung pada akal dan kedudukan, sehingga siapa yang lebih pandai, rizkinya lebih banyak, demikian juga seorang atasan lebih banyak rizkinya dibanding bawahan”, “rizki adalah materi yang dapat dihitung secara matematika, sehingga ketika jumlahnya berkurang, naka rizkinya tentu berkurang”. Inilah pemikiran khurafat dan tahayyul yang berkembang dan mencengjeram kaum muslimin saat ini.
Akibatnya ummat Islam menjadi ummat yang materialistic. Tidak bisa berkorban untuk kepentingan Islam dan menjadi orang yang bakhil, takut menentang kezaliman karena khawatir akan kehilangan kedudukan dan hartanya. Jika mencari ilmu, belajar atau lainnya, juga tidak bertujuan untuk meningkatkan kualitas berpikir, namun hanya semata-mata untuk meraih kenikmatan materi.  Karena itu, ketika tujuannya telah  tercapai, proses belajarnya akan berhenti. Sebab semuanya telah tercapai. Padahal pemikiran seperti itu adalah debu-debu kotor yang harus dibersihkan dari benak mereka, sehingga makna pemikiran “rizki di tangan Allah SWT” tersebut benar-benar jernih dan cemerlang.
Secara Etimologis Rizki yang berasal dari bahasa arab, Razaqa-Yarzuqu-Rizq yang berarti pemberian. Adapun menurut istilah rizki adalah apa saja yang dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa dimanfaatkan atau tidak.
Definisi “apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh)” meliputi semua bentuk rizki; halal, haram, positif, negative, sakit, kecerdasan, ketidakcerdasan, cantik, jelek dan sebagainya.  Semuanya merupakan rizki. Definisi ini menjelaskan, bahwa rizki berbeda dengan hak milik. Sebab, hak milik sellau memperhatikan cara, yaitu syar’I atau tidak syar’I ; jika caranya syar’I, maka hak miliknya halal, dan jika tidak syar’I, maka hak miliknya tidak halal. Tetapi, dua-duanya tetap disebut rizki. Definisi ini juga meliputi rizki yang diperoleh secara mutlak tanpa usaha, seperti pemberian, waris, diyat, ataupun karena usaha, seperti bekerja, menjadi broker, atau yang lain, termasuk kerja yang diharamkan, seperti  mencuri, merampok, dan sebagainya. Semuanya ini bisa mendatangkan rizki meskipun kemudian ada yang halal dan haram.  Mengenai definisi “baik yang bisa dimanfaatkan maupun tidak” meliputi semua bentuk rizki, baik yang positif maupun yang negative, sekaligus menafikan rizki yang dianggap hanya sesuatu yang bisa dimanfaatkan saja.
Inilah makna pemikiran mengenai rizki, yaitu apa saja yang diberikan Allah SWT. Yang diperoleh manusia. Allah SWT. Juga dinyatakan sebagai sebab bagi rizki manusia. Allah SWT. berfirman :

“Dan di langit ada (sebab-sebab) rizki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.“ (TQS. Adh Dhariyat: 22-23)


Pemaknaan dari ayat diatas adalah “Kalian tidak bisa  berbicara dengan menggunakan mulut orang lain, maka kalian juga tidak bisa memakan rizki orang lain, selain rizki kalian sendiri”.
Karena itu, setiap makhluk yang diberikan kehidupan oleh Allah pasti telah Dia tetapkan rizkinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT. :

“Dan tidak ada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rizkinya telah ditetapkan oleh Allah.” (TQS. Hud:6)

Ayat ini secara tegas telah memaparkan, bahwa tidak satu pun makhluk yang diberi kehidupan oleh Allah, kemudian dibiarkan hidup tanpa jaminan rizki dari-Nya. Sebab, siapakah yang menjamin rizki manusia? Tentu bukan manusia, sebaliknya Allah. Maka, ketika ada orang tua yang takut keturunannya lahir tanpa jaminan rizki, kemudian mereka membunuh keturunannya karena takut akan kelaparan, dengan tegas ketakutan tersebut dibantah Allah :

“Kalian jangan membunuh anak-anak kalian karena takut akan kelaparan, padahal Kamilah Yang (menjamin) memberikan rizki mereka, juga rizki kalian.” (TQS. Al Isra: 31)

Melalui ayat ini, Allah SWT ingin menjelaskan, bahwa rizki itu tidak bisa dihitung dengan angka matematika. Maka, ketika seseorang mempunyai gaji Rp. 2.000.000 dimakan seorang, akan berubah komposisinya ketika masih single, dengann ketika telah menikah, dimana angka di atas sebelumnya dibagi satu, menjadi dua, suami-isteri, dan jika mempuyai satu anak, akan berkurang lagi menjadi Rp. 666.000 per orang. Akhirnya muncul ketakutan dan rasa takut itu karena jumlahnya berkurang. Akibatnya muncul rasa takut menikah, mempunyai anak dan ketakutan-ketakutan yang lain. Inilah yang dibantah Allah SWT seakan ingin menyatakan : “Bukan kamu yang menjamin rizki mereka, melainkan Akulah yang menjamin rizki mereka, juga rizki kamu”. Inilah yang dijanjikan Allah SWT. melalui orang tuanya  atau melalui orang lain.
Ayat-ayat dan makna pemikiran rizki di atas memberikan gambaran, bahwa “rizki di tangan Allah” adalah pemikiran yang menjadi keyakinan dan wajib dimiliki oleh setiap orang Islam. Karena pemikiran tersebut memang riil dan tidak kontradiksi dengan realitasnya. Orang yang mengingkarinya tentu saja menjadi kafir. Keyakinan mengenai “rizki di tangan Allah” tersebut meliputi keyakinan mengenai segala sesuatu yang diberikan oleh Allah SWT baik pemberian dalam bentuk materi, maupun non-materi. Karena itu, bisa saja gaji seseorang kecil, tetapi rezekinya besar. Dengan demikian, rizki tidak tergantung pada jabatan dan kedudukan, dan tidak tergantung pada akal, ilmu atau pun yang lain. Karena Allah telah memberikan rizki tersebut secara mutlak kepada siapapun. Tepat sekali ungkapan penyair yang menyatakan:

Kalaulah rizki tergantung pada akal,
Tentu binatan-binatang telah binasa karena kebodohannya.

Rizki merupakan kehendak Allah, tetapi bukan menafikan usaha manusia. Pemikiran “rizki di tangan Allah” adalah masalah keyakinan yang wajib dimiliki oleh setiap kaum muslim. Sedangkan masalah usaha agar “rizki di tangan Allah” tersebut sampai kepada manusia adalah masalah hukum syara’ yang menentukan rizki itu halal atau tidak. Usaha merupakan faktor kondisional yang harus dilakukan untuk mendatangkan rizki itu, namun usaha tidak menentukan banyak dan sedikitnya rizki. Jika demikian, siapa yang menjadi sebab rizki? Tentu hanya Allah SWT.
Allah yang menjadi sebab rizki, Allah yang menentukan banyak dan sedikitnya rizki. Ini adalah bentuk keyakinan kepada Allah sebagai ar Razzaq (Maha Pemberi Rizki). Karena itu sebagian Ulama mengaitkan sebab rizki tetrsebut dengan tawakkal kepada Allah SWT, sebagaimana hyang dinyatakan Hadits Nabi Saw :

“Jika kalian bertawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia telah member rizki kepada burung yang berangkat (pagi) dengan perut kosong, dan pulang dengan (perut) kenyang.” (HR. At Tirmidzi dan Ahmad)

Jadi meskipun rizki tersebut ditentukan oleh Allah, dan usaha manusia tidak mempengaruhi besar dan kecilnya rizki, tetapi usaha merupakan factor yang menentukan halal dan haramnya rizki yang diberikan Allah SWT. Karena itu, mengapa ada perbedaan antara rizki dengan pemilikan rizki. Setiap muslim wajib berusaha mencari “rizki di tangan Allah” dengan usaha yang mengantarkannya pada hasil yang halal. Meskipun hakikat rizki yang halal dan haram tersebut sama-sama dari Allah SWT, tetapi status halal dan haram tersebut adalah manusialah yang menentukannya.
Karena itu manusia akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah karena cara memperoleh rizkinya; apakah bertentangan dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atau tidak? Demikian halnya pertanggungjawaban atas pemanfaatan rizki yang diberikan kepada manusia; apakah untuk sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah atau tidak? Sebab, semuanya itu wilayah aktivitas manusia yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban karena sedikit atau banyaknya, atau karena baik dan buruknya rizki yang diberikan kepadanya.
Wallahu’alan bissawab.

Sumber :
Hafidz Abdurrahma,  Diskursus Islam Politik dan spiritual, hal 169.
An Nabhani, as-Syaksiyah, juz I, hal. 110.
Al Ghazali, at Tawhid wa at Tawakkul, hal. 107

Setia



Tiap kali mendengar kata “setia”, dalam hati saya bergumam “emmm… gue banget”. Betapa tidak, hal itu terbukti jelas ketika saya masih menjalankan aktivitas maksiat dalam bentuk “pacaran”.  Tak pernah sekalipun saya pergi berboncengan atau berdua-duaan dengan lelaki  selain pacar saya, kalaupun ada aktivitas yang mengharuskan saya berkumpul dengan laki-laki itupun harus dalam urusan pekerjaan. Sampai akhirnya saya mengalami kejadian yang berkaitan dengan tepat waktu. Saya dengan pacar saya (mantan) batal kencan karena saya telat beberapa menit, dan hal itu jadi permasalahan besar baginya. Tapi setelah kejadian itu sebenarnya hubungan kami masih  baik-baik saja. Sampai akhirnya saya mendapatkan pencerahan dari seorang inspirator yang mengemukakan bahwa orang yang tidak tepat waktu adalah orang yang tidak setia. Setelah saya pahami, ” hemmm betul juga”.
Kecil memang, hanya permasalahan waktu tapi sangat esensial. Menyepelekan waktu bertemu dengan seseorang sama dengan meremehkan pertemuan dengan orang tersebut. Yang berarti juga mengurangi nilai kesetiaan kita pada orang tersebut. Lalu bagaimana dengan kesetiaan kita pada Tuhan yang menciptakan kita? Saya sendiri langsung getir ketika memahami masalah waktu ini. Saya pun langsung memutuskan untuk tidak pacaran lagi.
Hakikatnya manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Beribadah secara kaffah (menyeluruh), baik dalam keadaan berbaring ataupun berdiri, baik saat sendiri ataupun sedang beramai-ramai, untuk urusan pribadi dan urusan Negara. Allah menurunkan dien Islam dengan sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan. Mirisnya, kita hanya mengingat Allah ketika shalat saja, ketika zakat saja, ketika haji saja, di luar itu kita malah lupa dan terlalu asyik dengan aktivitas keduniawian kita, padahal Allah Maha Melihat apa yang kita perbuat. Hal yang kecil saja, saat sholat kita menutup aurat dengan sempurna, tapi ketika sholat berakhir aurat kembali diumbar dengan senangnya; ketika sholat shaff laki-laki dan perempuan terpisah, usai sholat laki-laki dan perempuan bercampur baur seakan Allah tidak memberikan aturan terhadap itu. Padahal menutup aurat dan tidak bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan baik dalam sholat maupun di luar sholat aturannya sama. Dan banyak lagi aturan aturan Allah lainnya yang kita sebagai kaum muslim sendiri yang menyepelekannya.
Anehnya lagi, dengan alasan masih muda atau mungkin dengan alasan menunggu kemantapan hati, kita malah menunda-nunda waktu untuk beribadah kepada-Nya. Sholatnya nanti saja menunggu waktu luang; hajinya nanti saja padahal mampu; berjilbabnya nanti saja, menjilbabi hati lebih duhulu; bertobatnya nanti saja saat tua, selagi muda ingin puas bersenang-senang dulu. Itulah segelintir alasan manusia, yang padahal di hadapan Allah alasan seperti itu tidak berguna sama sekali.
Hal yang begitu kita remehkan tapi malah meragukan kesetiaan kita kepada-Nya meskipun kita tetap menyebutnya sebagai Tuhan Yang Esa di lisan kita.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat) Allah, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al A’raf: 179)

Saya pun masih belajar, memahami ini membuat saya menangis dengan maksiat yang pernah saya lakukan. Meskipun tak ada yang tau tapi Allah tau, meskipun kecil tapi maksiat kecil itulah yang menodai keimanan saya.
Marilah sahabat kita murnikan keimanan kita kepada Allah SWT, yang dengan keimanan itu Dia akan mencintai kita. Jangan nodai kesetiaan kita kepada Allah dengan hal-hal yang bersifat kesia-siaan.

Jumat, 25 April 2014

Perjalanan Malam dengan Sepeda Damai

ni adalah cerita tentang aku dengan sepeda tua milik teman kostku, Damai. Damai adalah salah seorang mahasiswa prodi Pendidikan Fisika di kampusku dan berada beberapa tingkat semester di bawahku. Kostku merupakan kos yang istimewa, karena disini kami penghuni kost tidak hanya dipertautkan dalam naungan atap yang sama tapi ikatan lahir dan batin kami cukup kuat, kami sudah seperti keluarga. Sepeda damai menjadi salah satu alat transportasi yang sering bergantian kami gunakan. Sepeda tua berrwarna hitam yang remnya sudah blong. Kami tidak berani menggunakannya untuk keperluan yang jauh, hanya berkisar kampus dan wilayah sekitar kost. Tapi ketika ada suatu kejadian yang menimpaku, bersama sepeda Damai ini aku melakukan perjalanan yang cukup jauh ke luar kota.
Saat itu aku adalah mahasiswa semester 6 yang sedang aktif diberbagai kegiatan di kampus. Kebetulan pada saat itu dicalonkan teman-temanku tuk menjadi calon ketua Himpunan Mahasiswa (HIMA) di program studiku. Disisi lain, di desa tempat tinggalku, ayahku yang merupakan aparatur desa juga sedang sibuk mempersiapkan pemilihan kepala desa (pambakal) yang baru. Ayahku juga berperan sebagai ketua panitia pemungutan suara (PPS) dan Tim sukses salah satu calon kepala desa waktu itu. Hari pemungutan suara kepala desa itu pun berbarengan dengan hari pemungutan suara pemilihan ketua HIMA.
H-1.
Sore itu aku sedang asyik ngobrol dengan teman sekostku tentang kondisi pergerakan di kampus, dan tiba-tiba saja Handphone ku berdering. Ada panggilan dari ayahku.
“Er, esok pemilihan pambakal, kamu pulang ikut memilih”
“Saya gak bisa Bah, saya juga pemungutan suara esok di kampus dan saya jadi kandidatnya”, sahutku.
Ayahku langsung mematikan handphonenya. jantungku langsung berdetak kencang, aku tau pasti beliau marah.
Tiba-tiba handphone berdering lagi, ayahku memanggil lagi.
“Ingat Er, kamu tidak  besar sendirian. Kalau esok tidak pulang, jangan pernah pulang sekalian”, bentak beliau.
Aku yang tersentak hanya bisa menjawab “iya… “. Handphone langsung dimatikan ayahku dari seberang.
Teman-teman di sekelilingku tidak ada yang tau kalau saat itu aku menerima telpon dari ayahku yang sedang marah. Sampai akhirnya kami pun bubar dan aku masuk ke kamarku.
Di kamar aku langsung menangis. Meski pun aku merasa di posisi yang benar, aku merasa tidak nyaman mendengar kekecewaan ayahku. Aku mengerti, posisi beliau sebagai aparatur desa yang pasti tidak nyaman dengan warga desa kalau anaknya yang sulung tidak berpartisipasi dalam pemilu kades. Disisi lain kehadiranku di kampus esok jauh lebih penting, karena kandidat wajib berhadir dalam pemilu HIMA.
Aku pun memutuskan pulang malam itu. Usai sholat magrib aku bersiap diri untuk pulang dengan mata yang masih sembab. Kulihat di luar kost ada sepeda Damai sedangkan Damai tidak ada di kost malam itu. Dengan sepeda Damai aku mengayuh pulang ke rumah tanpa seorang penghuni kost pun yang tau. Perjalanan sejauh kurang lebih 30 km ku tempuh tanpa rem dengan sepeda itu. Sepanjang jalan aku masih menangis. Pantatku pun mulai penat, karena sebelumnya aku tidak pernah mengayuh sepeda sejauh ini apalagi kondisi jalan yang kadang tidak ada penerangan membuatku merasa takut kalau tertabrak sesuatu. Sepeda itu terus kukayuh tanpa istirahat sampai ke rumah.
Sesampai di rumah orang tuaku kaget melihat kedatanganku.
“kenapa gak bilang kalau mau pulang, Abah kan bisa menjemput”, kata ayahku.
Aku diam tidak menyahut. Aku pun lngsung berganti pakaian dan menuju ke belakang tuk mencuci mukaku. Mataku pun terasa bengkak karena menangis terus menerus. Kemudian aku langsung menuju ke kamarku dan tidur tanpa sedikitpun berbicara dengan orang tuaku. Samar-samar ku dengar pembicaraan orang tuaku.
“Erni dimarahi kah jadi dia sampai kayagitu”, ibuku yang pertama kali bersuara.
Ayahku diam tidak menyahut.
“Erni itu gak bisa dikerasi, dia berani nekat”, tambah ibuku.
Pagi pun tiba, aku bangun dengan kondisi yang sudah segar. Pagi-pagi aku sudah mempersiapkan diri tuk ke TPS dengan maksud setelah memilih aku langsung balik ke kampus dengan bersepeda.
Ayahku pun berkata, “Nanti biar abah saja yang mengantar ke kampus, kamu jadi kandidat ketua HIMA kan? Sepeda itu biar nanti malam abah yang antar ke kost”.
“iya.. “, jawabku. Aku pun senang sekali, ayahku tidak marah lagi dan memberikan dukungan padaku untuk jadi ketua HIMA.
Usai ikut pemungutan suara di desa, aku pun diantar ayahku kampus. Ayahku meminta izin pada panitia yang lain untuk meninggalkan tugasnya.
Di kampus, aku pun hari itu akhirnya terpilih menjadi ketua HIMA dan sejak saat itu kedua orang tuaku pun lebih perhatian padaku. Hampir 2 hari sekali aku diantari makanan ke kos, kadang di jenguki ke kampus dan 2 kali seminggu di jemput untuk pulang bahkan berselang tidak lama dari kejadian itu aku diberi izin untuk menggunakan motor.
Sepeda Damai itu tidak mampu kulupakan kenangannya sampai sekarang.

Kamis, 24 April 2014

Ohh ODOJ... Ohh KUTUB...


2 komunitas yang bertujuan tuk mendekatkan diri pada Allah SWT dan menggapai ridho-Nya dengan berjama’ah.

Terinpirasi dari seorang ibu rumah tangga sekaligus penulis yang sangat luar biasa, mba Pritha Khalida, saya juga tertarik untuk berbagi pengalaman saya selama berada 2 komunitas di atas. Yang ingin lebih tau tentang seputar ODOJ dan KUTUB silakan buka  www.prithamori.blogspot.com atau follow @onedayonejuz dan @TahajudBerantai.

Sebelum bergabung dengan ODOJ, sebenarnya saya sudah mulai melatih diri tuk tilawah sejuz dalam sehari, tapi karena motivasinya lebih bersifat individual saya tidak konsisten melakukannya. Ketika saya sangat sibuk kadang saya tilawah paling banyak 2 lembar sehari. Ketidak-konsistenan itu membuat saya tidak nyaman, saya pun memutuskan untuk mencari tau info seputar tentang ODOJ dan mendaftarkan diri. Akhirnya saya tergabung dalam group ODOJ 1371. 

Menariknya, di ODOJ ini kita tidak hanya diberikan motivasi tuk konsisten tilawah sejuz sehari tapi saling menguatkan dalam beribadah, saling share seputar keislaman, yang tidak kalah penting temanpun jadi tambah banyak yang insya Allah akan selalu mendekatkan kita dengan kebaikan.

Selama di ODOJ banyak kejadian luar biasa yang saya rasakan. Sebelum terlibat di ODOJ saya mengalami sakit kepala yang cukup membuat saya tersiksa. Sakit kepala karena adanya peradangan. Kalau sudah sakit itu datang, saya tidak sanggup melakukan apa-apa. Hampir 2 bulan sakit itu saya derita. Pengobatan dari dokter dan pengobatan alternatif juga tidak kunjung menyembuhkan saya, sampai-sampai ayah saya pernah memberi saya obat yang kata beliau obat itu adalah obat anti nyeri yang sangat hebat, sakit apapun pasti sembuh. Apa yang terjadi? Ternyata obat itu juga tidak mempan. Meskipun sakit itu sangat membuat saya tidak nyaman, saya berusaha untuk tidak mengeluh dan tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Saat sakit itu datangpun saya mantapkan hati tuk tetap tilawah 1 juz sehabis sholat subuh, di luar dugaan saya, di tengah kekhusyu’an tilawah  sakit saya sembuh seketika. Subhanallah, tak berhenti syukur saya pada Allah SWT. Sejak saat itu pun saya semakin semangat untuk tilawah, bahkan kalau ada juz teman yang dilelang dengan senang hati saya yang mengambil lelangannnya. Tiap sakit itu datang saya tidak pernah minum obat lagi, hanya dengan tilawah serta merta menyembuhkan saya sampai akhirnya sakit itu tidak pernah kambuh lagi. Pada kondisi yang lain, sering saya mengalami suatu permasalahan atau adanya pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan yang tak terjawab. Seketika saya buka Mushaf Al Qur’an dan membaca terjemahnya, saya menemukan solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya itu. 

Al Qur’an benar-benar As Syifa (penyembuh) dan penyejuk hati bagi muslim yang benar-benar  ingin menjadikannya pedoman hidup. Melalui ODOJ ini keinginan untuk selalu dekat dengan Al Qur’an semakin kuat. Meskipun kesibukan yang sangat padat, saya tetap berusaha tuk kholas  tilawah, karena saya khawatir kalau juz saya sampai dilelang akan mengganggu khattamnya jama’ah group saya hari itu. Berbeda dengan ketika tilawah sendirian, mau 1 lembar, 2 lembar atau tidak tilawah sedikitpun sehari tidak menjadi kekhawatiran, bersalahnya cuma pada diri sendiri tidak pada jama’ah. Dan Alhamdulillah selama di ODOJ ini untuk pertama kalinya saya mampu mengkhattamkan Al Qur’an dalam 1 bulan di luar bulan Ramadhan. Sekarang group ODOJ kami berjalan hampir 2 bulan.






Dari ODOJ ini saya pun diperkenalkan dengan sebuah komunitas KUTUB, yaitu komunitas Tahajud dan Dhuha berantai. Saya tergabung dengan group KUTUB 73. Saat  bergabung saya berpikir untuk langsung keluar saja dari komunitas ini. Awalnya saya cuma merasa pada komunitas ini  hanya berkewajiban tuk lapor sudah mengerjakan tahajud dan dhuha yang menurut saya ibadah itu tanpa komunitas ini pun akan tetap saya laksanakan dan lapornya cukup ke Allah saja tidak usah ke makhluk-Nya. Kurangnya kedekatan saya dengan anggota group pun memperkuat keinginan saya. Beruntung saya mendapat wejangan dari sahabat ODOJ saya saat itu, mba Pritha Khalida, jangan hanya karena hal kecil seperti itu malah mundur dari jama’ah. Saya pun berusaha untuk semakin dekat dengan komunitas ini. Semakin mengenal komunitas ini saya pun semakin sayang, teman-teman saya pun semakin banyak. Kalau di ODOJ teman saya ada yang berasal dari Malaysia dan sekolah di Jordan, di Kutub ini teman saya selain berasal dari berbagai daerah di Indonesia, juga ada yang tinggal di Saudi Arabia, Abuja dan Taiwan. Berbagi pengetahuan dan pengalaman  dengan mereka pun semakin menyenangkan. Yang paling utama, pelaksanaan ibadah nafilah pun semakin terjaga melalui Kutub ini. Sering kami sharing tentang info-info kekinian seputar Indonesia dan kondisi kaum Muslim di berbagai Negara, dan sebelum tidur kami saling memposting do’a, bayangkan ada 30 orang yang mengaamiinkan do’a-do’a kita tiap hari, ditambah lagi 30 orang yang ada di ODOJ, alangkah luar biasanya do’a kita. Yang luar biasa lagi do’a-do’a itu tidak hanya ditujukan pada diri sendiri tapi untuk kaum muslim keseluruhan, ukhuwah Islamiyah pun terasa semakin kuat.

Semenjak berada di 2 komunitas ini pun saya merasa kehidupan saya semakin hangat, di samping dalam kehidupan keseharian saya selalu dikelilingi orang-orang yang selalu menyayangi dan mendo’akan saya, nun jauh disana saya juga memiliki teman-teman seiman yang menyayangi dan yang juga selalu mendo’akan saya.


Allah Maha tahu isi hati kita yang Maha membolak-balikkan hati manusia, semoga kita selalu diteguhkan hati dan istiqomah meniti jalan keimanan ini. Aamiin…







Emang Gue Pikirin ?!


Jika kita mendengarkan perkataan semua orang di muka bumi ini, niscaya kita akan jadi sakit hati dan terluka. Karena, orang lain terkadang hanya melihat penampilan luar kita, dan menjabarkannya hanya dari sudut pandang mereka. Tidak satu pun orang di dunia ini yang berbuat kebaikan melainkan ada saja orang yang nggak menyukainya.
Kita tidak bisa membuat semua orang suka kepada kita, membuat mereka dekat dengan kita, dan membuat mereka melihat sisi positif kita. Sedih memang,. Tapi, itulah kenyataannya. Kita hidup di muka bumi ini dengan beragam manusia, beragam pemikiran, beragam latar belakang, dan beragam tujuan serta cita-cita.
Yang menurut kita baik, belum tentu baik di mata orang lain. Yang menurut kita indah, belum tentu indah menurut orang lain yang memandang. Yang menurut kita jelek, belum tentu jelek juga bagi mereka.
Semua orang bisa berpendapat. Orang bijaksana bisa berpendapat. Orang bodoh juga bisa berpendapat. Orang yang berpendidikan bisa berpendapat. Anak kecil pun bisa berpendapat. Tang terpenting, teman, yakini jalan yang kau tempuh dan lihat kembali, apakah kau sudah di jalan kebenaran? Sekali lagi, teman, tidak seorang pun di dunia ini yang berbuat baik kecuali ada saja orang yang nggak menyukai perbuatannya itu. Rasulullah contohnya. Orang lain hanya melihat yang tampak di luar. Sedang Allah mengetahui hingga ke dasar hatimu.

Membangun Kebiasaan


Sejak berada di bangku SD saya sudah hobby membaca, sampai-sampai pada waktu itu saya dijuluki kutu buku oleh teman-teman saya. Saking senangnya membaca, ketika waktu istirahat tiba saya sering membaca sambil berjalan di lingkungan sekolah. Buku-buku yang say abaca waktu itu seputar tentang kisah anak-anak seperti Marini Sahabat Sejati, Detektif Cilik, dan banyak lagi. Banyak sekali pengetahuan yang saya dapatkan tentang kebudayaan Indonesia, bahkan saat saya kelas 3 SD saya sudah mengerti tentang globalisasi. Beranjak SMP buku yang sering saya baca berjudul Trio Detektif yang menceritakan tentang 3 orang remaja yang . Saat SMA buku-buku yang saya baca sudah mulai mengarah pada buku-buku Teenlit, Seri Chicken soup dan komik-komik yang bernuansa percintaan. Sepanjang hobby membaca itu saya jalankan semua buku yang saya baca bernuansa kehidupan sehingga mudah saja bagi saya memahaminya.
Perkembangan ini berubah ketika saya memasuki dunia perkuliahan. Tuntutan dari kebutuhan aktivitas saya, saya harus banyak membaca buku yang bernuansa pemikiran, misalkan At Tafkir (Hakikat Berfikir); Pemikiran Politik Barat; Hakikat Kebangkitan;  Kapitalisme, Komunisme dan Islam; dan banyak buku-buku yang lain. Saya yang terbiasa membaca buku-buku yang ringan terang saja kesulitan untuk membaca buku itu. Al hasil saya pun jadi malas membaca, baru 1 lembar ngantuk dan buku pun langsung ditutup.
Ketika bertemu dengan senior  yang kebetulan ingin mengetahui perkembangan dari pengetahuan saya, saya ungkapkan kesulitan saya dalam membaca. Alasan saya waktu itu karena kegiatan saya yang begitu padat, kuliah, aktivitas organisasi dan juga kerja sampingan yang begitu menyita waktu saya sedangkan membaca buku-buku pemikiran seperti itu perlu pemahaman yang kuat tiap paragrafnya, saya harus mengalokasikan waktu tuk membaca dan saya tidak sanggup mengalokasikan waktu untuk itu. Berharap alasan saya itu dibenarkan oleh senior. Jawaban pertama dari senior saya waktu itu, “Paksa!”. Dalam hati saya langsung nyinyir, ngomong sih gampang ngelakuinnya yang susah.
Tak ada pilihan buat saya. Saya pun memaksakan diri membaca buku-buku itu dalam kondisi apapun. Sejak saat itu kemana pun saya pergi saya membawa buku. Saat menunggu dosen masuk kelas, menunggu waktu sholat, sebelum rapat, sebelum tidur, setiap kali ada kesempatan saya manfaatkan. Awalnya saya sungguh sangat teramat terpaksa, akhirnya terbiasa dan menganggap itu sebagai kebutuhan. Sejak saat itu banyak buku pemikiran yang saya baca dan miliki.
Begitulah sekelumet cerita saya ketika membangun kebiasaan.
Kebiasaan itu tidak muncul dengan sendirinya. Adakalanya harus kita paksa untuk memulainya dengan komitmen yang kuat. Paksaan itu ibarat obat ketika kita merasa malas. Namun jangan khawatir, meski awalnya terpaksa ketika aktivitas itu dilakukan berulang-ulang akhirnya menjadi suatu perbuatan yang reflex.
Seseorang yang professional atau ahli di salah satu bidang kehidupan bukan terbentuk dengan sendirinya. Seorang inspirator ternama Jamil Azzaini menyatakan untuk menjadi seorang yang ahli seseorang memerlukan waktu 10.000 jam untuk mengulang-ulang latihan dibidangnya itu. Sehingga untuk bisa ahli menjadi seorang penulis, pendidik, trainer, pebisnis, psikolog dan professional lainnya perlu 10.000 jam terbang di bidang itu. Dan itu berawal dari 1 kebiasaan kecil yang awalnya mungkin harus dipaksa.